Dalam 5 hari 4 malam di rumah sakit, saya menginap di ruangan yang berbeda-beda setiap malamnya. Setiap ruangan diisi oleh dua pasien kecuali di ruangan ICU, sehingga saya mendapatkan tiga teman baru (SKSD amat wkwk). Bukan teman juga sih, karena sesungguhnya saya tidak berkenalan saat opname itu, saya tidak bisa banyak bicara dan berjalan ke luar kasur saat itu sehingga saya lebih banyak mendengarkan. Ibu saya sebagai penunggu yang lebih banyak berkomunikasi. Namun dari ketiga malam tersebut, ada pengalaman yang cukup menarik bersama “teman” seruangan tersebut. Oh iya, karena nomor kamar sangat mirip dengan HTTP Error Status Code, saya akan menyebutkan nomor kamar dengan nama dari kode tersebut XD.
Request Timeout Room
Saya menempati ruangan ini saat pertama kali diopname, Saya hanya menempatinya selama 1 malam karena besoknya saya dioperasi dan kemudian dipindahkan di ICU. Saat pertama kali datang sudah ada satu pasien yang menempati ruangan yang sama, dengan nomor yang berbeda (Proxy Authentication Required). Saya bisa melihat sedikit dari celah tirai yang terbuka, seorang perempuan yang terlihat masih muda, mari sebut dengan Mba X. Dia menggunakan suatu alat yang cukup besar di samping kasurnya dengan bunyi yang cukup berisik. Saya kemudian mencari tahu nama alat itu dengan keyword berupa merk dan type yang tercantum di depan mesin tersebut, dan saya lupa sekarang namanya XD. Sejenis alat untuk menghisap lendir di paru-paru.
Saat pertama kali datang, Mba X dijaga oleh kakak perempuannya. Saya dan ibu saya tidak langsung banyak bertanya dan mengajak mengobrol, hanya senyum dan kemudian istirahat. Melihat saya yang tidak terlihat seperti orang sakit, kakak Mba X ini menghampiri saya dan ibu saya, menanyakan alasan saya di rawat inap padahal terlihat sehat. Ibu saya menjawab dan kemudian menanyakan hal yang sama, namun tidak dijawab dengan lengkap, hanya dibilang kalau sedang sakit. Saya dan ibu saya tidak enak hati untuk menanyakan lebih detail lagi.
Malam pertama di rumah sakit itu saya merasa kurang nyaman (selain namanya juga rumah sakit dan keharusan untuk mencari darah) karena teman seruangan saya yang batuk-batuk terus dan sering mengeluh kesakitan. Saya yang berbaring di sebelahnya merasa ikut sakit juga dan khawatir. Khawatir karena saya takut penyakitnya ada hubungannya dengan COVID (walau rasanya tidak mungkin tidak dicek dulu oleh dokter) dan juga khawatir saya juga mengalamai itu juga setelah operasi. Mba X ini sering mengeluh mengenai obat penahan rasa sakitnya kurang ampuh (sependengaran saya.
Pada malam hari, kakak Mba X yang sebelumnya menjaga digantikan oleh suami dari Mba X. Suami Mba X ini juga menanyakan hal yang sama kepada saya dan ibu saya karena tidak terlihat sakit. Suami Mba X ini terlihat sangat sabar dan sayang pada Mba X ini. Mba X sering memanggil suaminya ini untuk meminta sesuatu dan selalu dilakukan dengan cepat tanggap. Tidak pernah dia meninggalkan istrinya sendirian untuk waktu yang lama. Saya tidak iri kok, saya malah senang melihatnya. Oh iya, dari logat dan bahasa yang dipergunakan, saya bisa langsung tahu asal suami istri ini, ternyata sama dengan ayah saya, membuat saya merasa jadi SKSD XD.
Keesokan harinya, saya dibawa ke ruang operasi dan ternyata setelah itu tidak kembali ke ruangan tersebut. Saya kira saya tidak akan bertemu lagi dengan Mba X, namun takdir berkata lain. Saat kontrol pasca operasi, saya bertemu kembali saat menunggu farmasi. Kami pun akhirnya mengobrol. Mba X ini adalah seorang manager di suatu klinik kecantikan di Jakarta. Dia mengalami kebocoran paru dan kemarin adalah operasi ketiganya di bulan ini (operasi ketiga ini dia diberikan lapisan paru buatan sehingga perlu mematahkan rusuk). Dia sempat sangat sesak dan tidak bisa bernafas sama sekali kecuali menggunakan alat. Dia mengatakan kalau dia sudah menerima takdir dari Allah SWT dan bersyukur masih diberikan kesempatan untuk ketiga kalinya. Kata-kata mba X ini sungguh menyentil saya yang mengeluh karena sakit leher dan tidak bisa menengok pasca operasi. Sakit saya masih lebih ringan. Semoga Mba X dan keluarga selalu diberikan kesehatan.
Forbidden Room
Di kamar ini, saya sekamar dengan seorang ibu yang sudah cukup tua (kita panggil Ibu Y), umurnya sekitar 55 tahun. Saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena saya belum bisa turun dari kasur dan menengok dengan bebas. Saya sering kaget dan khawatir dengan Ibu Y ini karena sering membuat heboh dan kesal suster. Pernah Ibu Y ini tiba-tiba tidak dapat merespon dan ibu saya bilang seperti hendak dijemput. Selain itu, Ibu Y senang mencabut selang NGT, hingga dicabut pasang sampai 3 kali dalam semalam. Ibu Y ini tangannya sudah diikat namun selalu ada jalan bagi Ibu Y ini untuk mencabut selang NGT yang membuat suster terdengar kesal.
Ibu ini ditunggu oleh kakak iparnya. Saya sebenarnya kasihan kepada ibu ini karena penunggunya tidak terlalu memerhatikannya, tidak seperti suami Mba X yang sigap. Penunggu ibu ini lebih banyak tidur dan jika keluar kamar baru kembali dalam waktu yang lama. Ibu saya cukup banyak mengobrol dengan penunggu ibu ini. Dari obrolannya saya bisa tahu bahwa Ibu ini menderita sakit paru juga dan sudah mau dibolehkan pulang, namun karena kondisinya tiba-tiba menurun sehingga tidak jadi. Ibu Y ini pun masih batuk-batuk. Jujur saya merasa khawatir karena saya selalu ditempatkan dengan pasien yang mengalami gejala mirip Covid, tapi saya percaya saja rumah sakit tidak mungkin menempatkan saya yang masih lemah untuk sekamar dengan penderita COVID.
Pada keesokan harinya, saya sudah diperbolehkan untuk turun dari kasur dan berjalan. Akhirnya saya bisa ke kamar mandi XD. Saat berjalan ke kamar mandi, saya berniat untuk menengok ke kasur Ibu Y karena penasaran. Namun saya teringat kalau Ibu Y sedang diajak foto, saat itu saya tidak ngeh kalau maksudnya foto rontgen. Saat saya di dalam kamar mandi, tiba-tiba ibu saya mengetuk pintu meminta saya keluar. Saya harus pindah kamar saat itu juga. Suster terlihat sangat buru-buru meminta ibu saya dan saya pindah. Suster membantu ibu saya membawakan barang-barang saya. Sesampainya di kamar baru, saya dan ibu saya diminta berganti baju dan mandi (padahal saya baru ganti baju). Kontan ibu saya langsung kaget dan takut. Saya dan ibu saya sudah sehari lebih satu ruangan dengan Ibu Y itu. Saat itu juga sudah mulai diketahui bahwa penularan COVID bisa via airborne. Ibu Y tersebut kemudian dipindahkan juga ke gedung lain. Kamar saya sebelumnya itu benar-benar dibersihkan. Sepertinya ibu itu suspect, namun suster tidak mengatakannya dan saat ibu saya mencoba menanyakan, suster tersebut membalas: “Ibu langsung mandi dan ganti baju kan habis itu?”
Alhamdulillah setelah itu saya tidak mengalami salah satu gejala COVID kecuali demam namun langsung turun setelah meminum paracetamol. Saat menanyakan ke dokter, hal itu wajar pasca operasi. Ibu saya tidak langsung pulang ke rumah setelah itu, namun menjalani isolasi mandiri dulu di kosan saya (walau tidak disuruh, takut menularkan ke ayah dan adik-adik di rumah)
Method Not Allowed
Di kamar yang terakhir ini saya sekamar dengan seorang nenek berumur 90 tahun. Sudah sangat tua namun masih berjiwa muda. Dia ditunggu oleh dua orang anaknya yang terlihat benar-benar menyayanginya. Saya tidak pernah melihat anak-anaknya itu pergi jauh (kecuali salah satu pergi untuk membeli makan) dan selalu sigap saat beliau membutuhkan. Saat ibu saya menceritakan tentang kondisi kamar sebelumnya, anak-anak nenek tersebut tersebut ternyata kenal dengan Ibu Y. Ibu Y ini sebelumnya sempat membuat gempar karena berteriak teriak. Anak-anak dari nenek ini langsung memberikan vitamin bagi ibu saya. Sungguh pengertian dan baik.
Nenek ini ternyata pulang lebih dulu dibanding saya. Nenek dibawa pulang dengan ambulans. Nenek dibawa dengan semacam tandu oleh petugas ambulans. Saat nenek melewati saya, nenek itu tersenyum dan melambaikan tangan ke saya. Hati saya senang sekali, padahal saya belum pernah melihat wajah nenek secara langsung. Anak-anaknya baik pasti karena nenek itu juga baik. Nenek masih terlihat ceria dan bahagia di umurnya yang sudah tua dan pasca dirawat. Semoga nenek dan keluarga sehat selalu. Jadi ingat nenek di Bandung.
Like this:
Like Loading...