Di Hari Idul Adha

Sama seperti hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha tahun ini saya jalani di kosan saja. Alasan utama saya tidak pulang ke rumah karena saya masih pemulihan operasi, sehingga saya merasa belum siap untuk pergi jauh (walau Bogor sebenarnya dekat). Alasan lainnya adalah saya merasa keadaan pandemi sekarang masih belum lebih baik dari saat Idul Fitri jadi saya merasa aneh kalau saya mudik sekarang dan orang tua pun memaklumi walau sebenarnya mungkin orang tua lebih mengharapkan saya pulang.

Walau begitu, hal yang patut disyukuri pada hari ini adalah saya merasa lebih sehat dibanding saat Idul Fitri. Malam Idul Fitri lalu dilalui dengan demam dan sakit kepala sehingga tidak bisa menikmati suara takbir. Malam Idul Adha ini saya bisa mendengarkan sampai malam sekali walau karena masjidnya tidak terlalu dekat jadi suaranya tidak sekeras saat di rumah atau rumah nenek. Selain itu, hari Idul Adha ini teman saya berkunjung ke kosan. Dia teman sekampus saya yang juga tidak mudik ke rumah. Rencana dadakan yang tercetus malam sebelumnya. Kami ingin hari ini dilalui lebih produktif, istilah dia sih “Ambi bareng”. Dalam realisasinya sih tidak terlalu ambisius hehe, tetap diselingi dengan cerita dan obrolan tentang kehidupan masing-masing. Oh iya, jangan khawatir ini Insya Allah tetap mengikuti protokol kesehatan.

Sebelum ada rencana “Ambi bareng” ini, saya sudah mempunyai rencana sendiri untuk menghabiskan tiga hari libur ini. Selain rencana membaca buku yang biasanya jadi wacana (saat menyortir buku minggu lalu kaget, ada beberapa buku yang belum dibaca dan ada satu buku yang bahkan lupa kalau punya 😩), saya juga ada daftar tontonan yang ingin saya tonton karena rekomendasi teman-teman.

Jadi, beberapa hari ini setelah show and tell (sesi sebelum jam kerja berakhir untuk menceritakan apa yang dikerjakan hari itu), teman teman satu divisi iOS ini selalu mendiskusikan mengenai anime dan manga. Ternyata, 11 dari 12 orang di divisi ini rutin mengikuti anime dan manga, dan saya sisanya. Pak kabag sampai heran dan bertanya apa yang saya lakukan di kosan untuk menghabiskan waktu agar tidak bosan wkwk. Saya jadi berpikir lagi, mungkin saya terlalu banyak membuka sosial media sepertinya dan lost in it.

Teman-teman sedivisi saya tersebut akhirnya merekomendasikan beberapa anime untuk ditonton pada liburan ini yang beberapa ada di Netflix. Saya baru menyadari kalau ternyata banyak anime di Netflix selain dari Studio Ghibli. Saya jadi ingat saat di lab di kampus dulu, situasinya sama seperti ini, teman-teman saya banyak yang mengikuti anime dan manga ini dan merekomendasikannya ke saya yang kurang update ini. Bedanya, rekomendasinya tersebut sudah ada dalam bentuk data di hard disk alias saya dulu rutin copy file dari teman saya itu. Setelah itu, pasti ditanya kesan setelah menonton dan mereka senang sekali kalau saya suka rekomendasinya. Tidak cuma anime sih, tapi serial Amerika dan Korea. Kalau sekarang, semua bisa ditonton secara legal dengan lebih mudah di online streaming service seperti Vidio dan Netflix (dan Alhamdulillah sekarang sudah memiliki penghasilan juga jadi masa masih copy file dari teman XD)

Hari ini Idul Adha diakhiri dengan video call bersama teman-teman sekampus dulu. Tetap menyenangkan walau sebenarnya kami sudah rutin video call wkwk, satu minggu minimal sekali, apalagi sama teman yang juga sekantor. Selalu ada bahan pembicaraan, walau tidak semuanya serius dan penting untuk ketertiban dunia. Silaturahim jarak jauh membuat pikiran tetap sane di hari-hari yang sedang sulit ini.

Selamat Idul Adha! Semoga kita semua diberikan kesehatan, sabar, dan selalu bersyukur. Dan satu lagi: Semoga pandemi ini segera berakhir. Aaamiin

Produktif?

Hari ini saya mengeluh ke teman saya sebut saja namanya Widya. Saya cerita kalau saya mau menulis blog tapi malas padahal belum produktif sama sekali hari ini (selain bekerja tentunya). Jawaban Mba Wid ini membuat saya jadi semangat menulis blog:

Lakuin aja yang kamu suka

Kisah Kala Opname: Pelajaran dari Teman Sekamar

Dalam 5 hari 4 malam di rumah sakit, saya menginap di ruangan yang berbeda-beda setiap malamnya. Setiap ruangan diisi oleh dua pasien kecuali di ruangan ICU, sehingga saya mendapatkan tiga teman baru (SKSD amat wkwk). Bukan teman juga sih, karena sesungguhnya saya tidak berkenalan saat opname itu, saya tidak bisa banyak bicara dan berjalan ke luar kasur saat itu sehingga saya lebih banyak mendengarkan. Ibu saya sebagai penunggu yang lebih banyak berkomunikasi. Namun dari ketiga malam tersebut, ada pengalaman yang cukup menarik bersama “teman” seruangan tersebut. Oh iya, karena nomor kamar sangat mirip dengan HTTP Error Status Code, saya akan menyebutkan nomor kamar dengan nama dari kode tersebut XD.

Request Timeout Room

Saya menempati ruangan ini saat pertama kali diopname, Saya hanya menempatinya selama 1 malam karena besoknya saya dioperasi dan kemudian dipindahkan di ICU. Saat pertama kali datang sudah ada satu pasien yang menempati ruangan yang sama, dengan nomor yang berbeda (Proxy Authentication Required). Saya bisa melihat sedikit dari celah tirai yang terbuka, seorang perempuan yang terlihat masih muda, mari sebut dengan Mba X. Dia menggunakan suatu alat yang cukup besar di samping kasurnya dengan bunyi yang cukup berisik. Saya kemudian mencari tahu nama alat itu dengan keyword berupa merk dan type yang tercantum di depan mesin tersebut, dan saya lupa sekarang namanya XD. Sejenis alat untuk menghisap lendir di paru-paru.

Saat pertama kali datang, Mba X dijaga oleh kakak perempuannya. Saya dan ibu saya tidak langsung banyak bertanya dan mengajak mengobrol, hanya senyum dan kemudian istirahat. Melihat saya yang tidak terlihat seperti orang sakit, kakak Mba X ini menghampiri saya dan ibu saya, menanyakan alasan saya di rawat inap padahal terlihat sehat. Ibu saya menjawab dan kemudian menanyakan hal yang sama, namun tidak dijawab dengan lengkap, hanya dibilang kalau sedang sakit. Saya dan ibu saya tidak enak hati untuk menanyakan lebih detail lagi.

Malam pertama di rumah sakit itu saya merasa kurang nyaman (selain namanya juga rumah sakit dan keharusan untuk mencari darah) karena teman seruangan saya yang batuk-batuk terus dan sering mengeluh kesakitan. Saya yang berbaring di sebelahnya merasa ikut sakit juga dan khawatir. Khawatir karena saya takut penyakitnya ada hubungannya dengan COVID (walau rasanya tidak mungkin tidak dicek dulu oleh dokter) dan juga khawatir saya juga mengalamai itu juga setelah operasi. Mba X ini sering mengeluh mengenai obat penahan rasa sakitnya kurang ampuh (sependengaran saya.

Pada malam hari, kakak Mba X yang sebelumnya menjaga digantikan oleh suami dari Mba X. Suami Mba X ini juga menanyakan hal yang sama kepada saya dan ibu saya karena tidak terlihat sakit. Suami Mba X ini terlihat sangat sabar dan sayang pada Mba X ini. Mba X sering memanggil suaminya ini untuk meminta sesuatu dan selalu dilakukan dengan cepat tanggap. Tidak pernah dia meninggalkan istrinya sendirian untuk waktu yang lama. Saya tidak iri kok, saya malah senang melihatnya. Oh iya, dari logat dan bahasa yang dipergunakan, saya bisa langsung tahu asal suami istri ini, ternyata sama dengan ayah saya, membuat saya merasa jadi SKSD XD.

Keesokan harinya, saya dibawa ke ruang operasi dan ternyata setelah itu tidak kembali ke ruangan tersebut. Saya kira saya tidak akan bertemu lagi dengan Mba X, namun takdir berkata lain. Saat kontrol pasca operasi, saya bertemu kembali saat menunggu farmasi. Kami pun akhirnya mengobrol. Mba X ini adalah seorang manager di suatu klinik kecantikan di Jakarta. Dia mengalami kebocoran paru dan kemarin adalah operasi ketiganya di bulan ini (operasi ketiga ini dia diberikan lapisan paru buatan sehingga perlu mematahkan rusuk). Dia sempat sangat sesak dan tidak bisa bernafas sama sekali kecuali menggunakan alat. Dia mengatakan kalau dia sudah menerima takdir dari Allah SWT dan bersyukur masih diberikan kesempatan untuk ketiga kalinya. Kata-kata mba X ini sungguh menyentil saya yang mengeluh karena sakit leher dan tidak bisa menengok pasca operasi. Sakit saya masih lebih ringan. Semoga Mba X dan keluarga selalu diberikan kesehatan.

Forbidden Room

Di kamar ini, saya sekamar dengan seorang ibu yang sudah cukup tua (kita panggil Ibu Y), umurnya sekitar 55 tahun. Saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena saya belum bisa turun dari kasur dan menengok dengan bebas. Saya sering kaget dan khawatir dengan Ibu Y ini karena sering membuat heboh dan kesal suster. Pernah Ibu Y ini tiba-tiba tidak dapat merespon dan ibu saya bilang seperti hendak dijemput. Selain itu, Ibu Y senang mencabut selang NGT, hingga dicabut pasang sampai 3 kali dalam semalam. Ibu Y ini tangannya sudah diikat namun selalu ada jalan bagi Ibu Y ini untuk mencabut selang NGT yang membuat suster terdengar kesal.

Ibu ini ditunggu oleh kakak iparnya. Saya sebenarnya kasihan kepada ibu ini karena penunggunya tidak terlalu memerhatikannya, tidak seperti suami Mba X yang sigap. Penunggu ibu ini lebih banyak tidur dan jika keluar kamar baru kembali dalam waktu yang lama. Ibu saya cukup banyak mengobrol dengan penunggu ibu ini. Dari obrolannya saya bisa tahu bahwa Ibu ini menderita sakit paru juga dan sudah mau dibolehkan pulang, namun karena kondisinya tiba-tiba menurun sehingga tidak jadi. Ibu Y ini pun masih batuk-batuk. Jujur saya merasa khawatir karena saya selalu ditempatkan dengan pasien yang mengalami gejala mirip Covid, tapi saya percaya saja rumah sakit tidak mungkin menempatkan saya yang masih lemah untuk sekamar dengan penderita COVID.

Pada keesokan harinya, saya sudah diperbolehkan untuk turun dari kasur dan berjalan. Akhirnya saya bisa ke kamar mandi XD. Saat berjalan ke kamar mandi, saya berniat untuk menengok ke kasur Ibu Y karena penasaran. Namun saya teringat kalau Ibu Y sedang diajak foto, saat itu saya tidak ngeh kalau maksudnya foto rontgen. Saat saya di dalam kamar mandi, tiba-tiba ibu saya mengetuk pintu meminta saya keluar. Saya harus pindah kamar saat itu juga. Suster terlihat sangat buru-buru meminta ibu saya dan saya pindah. Suster membantu ibu saya membawakan barang-barang saya. Sesampainya di kamar baru, saya dan ibu saya diminta berganti baju dan mandi (padahal saya baru ganti baju). Kontan ibu saya langsung kaget dan takut. Saya dan ibu saya sudah sehari lebih satu ruangan dengan Ibu Y itu. Saat itu juga sudah mulai diketahui bahwa penularan COVID bisa via airborne. Ibu Y tersebut kemudian dipindahkan juga ke gedung lain. Kamar saya sebelumnya itu benar-benar dibersihkan. Sepertinya ibu itu suspect, namun suster tidak mengatakannya dan saat ibu saya mencoba menanyakan, suster tersebut membalas: “Ibu langsung mandi dan ganti baju kan habis itu?”

Alhamdulillah setelah itu saya tidak mengalami salah satu gejala COVID kecuali demam namun langsung turun setelah meminum paracetamol. Saat menanyakan ke dokter, hal itu wajar pasca operasi. Ibu saya tidak langsung pulang ke rumah setelah itu, namun menjalani isolasi mandiri dulu di kosan saya (walau tidak disuruh, takut menularkan ke ayah dan adik-adik di rumah)

Method Not Allowed

Di kamar yang terakhir ini saya sekamar dengan seorang nenek berumur 90 tahun. Sudah sangat tua namun masih berjiwa muda. Dia ditunggu oleh dua orang anaknya yang terlihat benar-benar menyayanginya. Saya tidak pernah melihat anak-anaknya itu pergi jauh (kecuali salah satu pergi untuk membeli makan) dan selalu sigap saat beliau membutuhkan. Saat ibu saya menceritakan tentang kondisi kamar sebelumnya, anak-anak nenek tersebut tersebut ternyata kenal dengan Ibu Y. Ibu Y ini sebelumnya sempat membuat gempar karena berteriak teriak. Anak-anak dari nenek ini langsung memberikan vitamin bagi ibu saya. Sungguh pengertian dan baik.

Nenek ini ternyata pulang lebih dulu dibanding saya. Nenek dibawa pulang dengan ambulans. Nenek dibawa dengan semacam tandu oleh petugas ambulans. Saat nenek melewati saya, nenek itu tersenyum dan melambaikan tangan ke saya. Hati saya senang sekali, padahal saya belum pernah melihat wajah nenek secara langsung. Anak-anaknya baik pasti karena nenek itu juga baik. Nenek masih terlihat ceria dan bahagia di umurnya yang sudah tua dan pasca dirawat. Semoga nenek dan keluarga sehat selalu. Jadi ingat nenek di Bandung.

Kisah Kala Opname: Operasi dan Setelahnya

Saya baru menyadari sesuatu saat masuk ke dalam ruang operasi: ternyata itu bukan ruang operasi. Saya baru memasuki semacam ruang tunggu pasien. Bukan ruang tunggu dimana orang menunggu dengan duduk, namun dengan berbaring di atas kasur rumah sakit, berbaris berjajar horizontal. Ruangannya cukup gelap dan tampak tua, membuat suasana menjadi sedikit menyeramkan walau saya tidak menggunakan kacamata (kacamata sudah dititipkan ke ibu). Setelah saya masuk, saya kemudian diminta berbaring di salah satu kasur. Saya mendengarkan suara di sekitar saya sambil menunggu. Terdengar dokter menanyakan satu-satu ke setiap pasien untuk mengecek kesiapan operasi: “Makan terakhir jam berapa?”, “Ini operasi pertama kali?”, “Apa nama operasinya?”. Pasien perlu tahu nama operasinya agar tidak ada kesalahpahaman di akhir. Saya sendiri lupa nama tepatnya, tapi saya menjawab dengan bahasa yang sederhana saja: “Pengangkatan xxx xxx”. Alhamdulillah pas, wkwk.

Cukup lama saya menunggu di ruang tunggu itu sambil berbaring. Sambil mendengarkan percakapan dokter ke pasien. Sebenarnya mungkin suster ya, tapi saya tidak bisa membedakan. Sekitar setengah jam kemudian saya masuk ke ruang selanjutnya yang sudah lebih dingin. Di sana tekanan darah diperiksa, di pasang infus (it’s my first time!) dan ditanya-tanya kembali, memastikan saya tahu operasi apa yang akan dilakukan. Dokternya mengajak bercanda sehingga saya sedikit tenang.

Akhirnya saya benar-benar masuk ke ruang operasi. Kurang lebih sama seperti di film-film, ada ranjang dan ada lampu di atasnya hehe. Sambil mempersiapkan untuk memulai operasi saya ditanya-tanya kembali: “Orang mana?” , “Kerja dimana?” , “Sudah punya pasangan belum?”, “Tinggal dimana?”. Saya menjawab saja hingga akhirnya saya diminta bernafas menggunakan suatu alat bantu nafas yang ternyata berisi obat anastesi. Setelah beberapa detik, saya tidak sadarkan diri.

ICU

Saya tidak bermimpi sama sekali saat operasi. Saya ingat saya sempat diminta pindah kasur dan rasanya saya mual sekali. Setelah itu saya tidur dan saat sudah terbangun saya sudah di suatu ruangan yang ternyata ruangan ICU. Saya merasa cukup segar setelah tidur, hanya saja leher saya sedikit mengganjal. Saya kemudian mencoba mengamati keadaan di sekitar saya. Banyak alat-alat terpasang, saya menggunakan alat bantu nafas, hidung saya pun dipasang selang NGT (Nasograstik tube) untuk membantu makan. Leher saya terhubung dengan surgical drain. Tangan kiri saya dipasang infus, dan tangan kanan saya dipasang alat tensi darah otomatis. Alat tensi yang bekerja setiap setengah jam sekali. Intinya di ruang ICU ini seluruh aspek kesehatan setelah operasi dipantau secara khusus. Oh iya, saat terbangun saya langsung mengecek suara saya apakah masih ada. Alhamdulillah masih terdengar.

Di ruang ICU hanya saya sendiri dan dimonitor oleh suster dan dokter secara khusus. Saat saya terbangun saya mendengar suara adzan, saya berpikir itu adalah adzan Ashar karena operasi diperkirakan sekitar 2-3 jam. Saya mencoba mencari jam, namun tidak ketemu karena memang tidak terlihat karena saya tidak menggunakan kacamata. Saya tidak bisa membawa apa-apa saat operasi sehingga saya juga tidak bisa mengecek handphone untuk melihat jam berapa sekarang. Akan saya tanyakan kalau suster mendekat, pikir saya.

Melihat saya yang terbangun suster pun menghampiri saya dan menanyakan apakah saya mau minum. Saya masih takut berbicara sehingga saya hanya mengangguk saja. Saya diberikan air putih di gelas dan sedotan. Masker oksigen saya dibuka dan kemudian diganti dengan selang oksigen yang ditancapkan di hidung. Saya kemudian menanyakan jam ke suster dan betapa kagetnya saya ternyata sudah jam 7 malam. Suster kemudian menawarkan saya untuk berbicara dengan keluarga melalui WA. Ternyata susternya sudah menyimpan nomor orang tua saya.

Oh iya, saya di ruang ICU selama satu hari hingga hari esok siangnya. Salah satu yang momen yang paling diingat saat saya sempat sesak nafas karena saya menahan nafas untuk mengetahui efeknya pada pengukuran tensi darah (tolong jangan dicontoh, saat itu saya sedang terlalu kreatif karena tidak bisa tidur). Saat di ruang ICU itu memang membuat kita bisa jadi memikirkan semua hal karena tidak ada gawai atau buku untuk pengalihan pikiran.

Saya terkesan dengan susternya yang kreatif. Karena tidak ada ikat rambut, suster mengikat rambut saya menggunakan karet handscoon, seperti ini:

Ikat rambut menggunakan karet hand scoon

Setelah selesai dari ruang ICU kemudian saya dibawa ke kamar rawat inap biasa yang berbeda dari sebelumnya (from Request Time Out to Forbidden Room #IYKWIM). Saya dibawa menggunakan ranjang rumah sakit bersama satu porter dan suster. Akhirnya melihat suasana luar! Sayangnya saat di perjalanan saya mendengarkan percakapan suster dan porter tersebut yang cukup mengagetkan: ada seorang ibu yang teriak karena tidak terima perawat yang merawat anaknya positif COVID-19.

Saya sebagai pasien yang baru selesai operasi tentu menjadi takut akan kabar tersebut. Dan ternyata masih ada kabar yang lebih mengagetkan lagi, namun akan saya ceritakan sekalian di pos selanjutnya.

Terimakasih sudah membaca!

Kisah Kala Opname: Pra Operasi

Minggu lalu saya baru menjalani sebuah operasi yang cukup besar karena ada benjolan di leher. Bukan gondok, tapi semacam tumor yang perlu diangkat agar tidak membesar. Sebenarnya cukup riskan di masa pandemi ini, tapi saya merasa perlu segera dilakukan karena saya mengalami ketidakstabilan hormon tiroid yang menyebabkan ketidakstabilan emosi, rambut rontok, cepat mengantuk, dan sering lemas. Setelah dokter selesai cuti karena masa psbb sudah selesai, saya kembali kontrol dan diputuskan untuk operasi pada bulan ini.

Sebelum operasi, diperlukan pemeriksaan kesehatan penunjang operasi ke beberapa dokter: dokter penyakit dalam, dokter paru, dokter anastesi, dan dokter jantung. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui resiko dan persiapan tambahan apa yang perlu dilakukan. Dari pemeriksaan tersebut Alhamdulillah saya tidak memiliki pertimbangan khusus kecuali perlu dilakukan penguapan menggunakan nebulizer sejam sebelum operasi.

H-1

Satu hari sebelum operasi saya perlu diopname terlebih dahulu untuk dipantau kesiapan dan kesehatannya. Oh iya, karena pandemi ini pasien hanya boleh ditemani oleh satu orang pendamping saja. Saya ditemani oleh ibu saya. Sesampainya di rumah sakit, saya antri mendaftar kamar rawat inap. Ternyata cukup banyak juga yang mendaftar. Kalau saya lihat-lihat sih lebih banyak mendaftar untuk melahirkan.

Saya akhirnya mendapatkan kamar di suatu gedung di lantai 4. Ini merupakan kamar saya yang pertama (saya berpindah kamar sebanyak 3 kali). Satu kamar diisi oleh dua pasien. Pengalaman saya dengan masing-masing teman sekamar saya cukup unik sehingga akan saya bahas di pos terpisah. Yang pasti di kamar pertama ini, pendamping pasien sekamar ini kaget karena saya terlihat sehat-sehat saja untuk diopname.

Malam sebelum operasi awalnya berjalan-jalan lurus-lurus saja. Saya sudah siap untuk istirahat sambil melakukan video call dengan teman-teman. Ibu saya juga sudah siap tidur. Video call sedang seru-serunya saat tiba-tiba suster masuk dan memanggil ibu saya. Saat itu kurang lebih jam 10 malam. Ternyata kantong darah di PMI sedang kosong dan saya membutuhkan 2 kantong darah lagi untuk operasi besok karena HB saya cukup rendah. Suster tersebut mengatakan kalau semenjak pandemi ini semakin berkurang pasokan darah dari pendonor rutin. Saya kaget karena pemberitahuan yang sangat tiba-tiba ini. Saya perlu mendapatkan pendonor yang bisa menyumbangkan darahnya di malam hari itu juga.

Saya sesungguhnya cukup beruntung karena sebagian besar keluarga saya memiliki golongan darah yang sama. Masalahnya, bapak dan adik saya ada di Bogor. Saya kemudian menanyakan ke teman-teman saya apa ada yang golongan darahnya sesuai dan tentu saja available untuk mendonorkan darahnya pada malam itu juga. Saat itu besoknya masih hari kerja, sehingga saya ragu ada yang bisa datang semalam itu. Tidak hanya datang ke rumah sakit, namun juga ke PMI pusat di Kramat Raya.

Alhamdulillah ada teman kantor saya yang bersedia. Dia bersama ibu saya mengurus surat pengantar dan kemudian pergi ke PMI Kramat. Saya tidak boleh ikut dan diminta untuk istirahat. Jam setengah 3 pagi saya terbangun dan ternyata ibu saya baru selesai mendonorkan darah. Teman saya langsung pulang setelah dari PMI. Semoga amal kebaikan ibu dan teman saya dibalas lebih baik oleh Allah SWT. Semoga saya juga bisa menyempatkan waktu dan tenaga seperti ibu dan teman saya tersebut.

H-0

Pagi tiba dan perasaan saya masih deg-degan. Saya mencoba membaca buku yang saya bawa namun tetap tidak fokus. Mau makan tapi harus puasa dari 6 jam sebelum operasi. Saya resah karena akan dibius total. Mungkin saya terlalu banyak menonton drama sehingga saya memastikan saya akan memilih jalan yang bercahaya agar bisa siuman. Nyatanya sih tidak ada pilihan seperti itu saat dibius XD

Sejam sebelum operasi saya diberikan Nebulizer untuk memperlancar jalan pernapasan ke paru-paru. Ini pertama kali saya pakai dan membuat pernapasan lebih lega. Kurang lebih alatnya seperti ini:

Sebenarnya suster sempat berkata kalau operasi mungkin diundur karena kantong darah baru siap sehari setelah pendonoran. Saat jam 10 (jadwal operasi) tiba tidak ada kabar apa-apa. Beberapa menit kemudian datang seorang porter membawa kursi roda. Saya diantar ke ruang operasi menggunakan kursi roda walau saya merasa masih kuat untuk berjalan. Saat di depan ruang operasi saya berpamitan dengan ibu saya, cium tangan (saya lupa kalau sedang pandemi).

Kisah di dalam ruang operasi dan ruang ICU dilanjut di episode lainnya ya XD

Bojonggede, Bogor

Saat mengunjungi homepage wordpress kembali, saya terkejut diberikan pesan seperti ini:

Bukan berarti blog ini sebelumnya ramai sih, tapi mungkin karena sebelumnya lebih sering mempublikasi pos jadi setidaknya ada pengunjung walau hanya sekali sehari, wkwk. Terimakasih atas ucapan untuk tidak menyerahnya WordPress!

Kalau dipikir-pikir, saya bisa menceritakan kehidupan saya selama ini dalam beberapa babak berdasarkan kota tempat tinggal: Babak pra-sekolah di Jakarta (dari lahir hingga kelas 2 SD), Babak sekolah di Bogor (3 SD hingga lulus SMA), babak kuliah di Bandung dan kemudian sekarang adalah babak bekerja di Jakarta. Saya mungkin sering menceritakan babak kuliah dan babak bekerja di dalam blog saya karena merupakan babak yang masih baru di ingatan. Kali ini, saya akan menceritakan babak kehidupan saya di masa sekolah yang paling saya ingat.

Sebenarnya kalau saya bilang kalau saya tinggal di kota Bogor teman-teman saya pasti pada protes: Bojonggede Jul, bukan Bogor. Ya, saya tinggal di suatu kecamatan di Kabupaten Bogor bernama Bojonggede. Bojonggede memiliki stasiun kereta tersendiri yang dilewati KRL Commuter Line jurusan Jakarta Kota-Bogor atau Jatinegara-Bogor. Sebagian besar warganya bekerja di Jakarta (CMIIW, karena bukan berdasarkan statistik sih tapi berdasarkan pengamatan saya saja wkwk). Di lingkungan tempat tinggal saya hampir setiap kepala keluarganya bekerja di Jakarta. Kalau saya berangkat kerja dari rumah, sebelum corona ini tentunya, saya perlu bersaing dengan banyak komuter (orang yang pulang pergi untuk bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya dalam satu hari) untuk mendapatkan tempat di kereta. Kereta yang sebelumnya lumayan kosong dari Bogor dan Cilebut, jadi terisi saat sampai di Bojonggede.

Saat SMP dan SMA saya bersekolah di kota Bogor karena sekolahnya lebih bagus di sana (menurut saya dan orang tua). Saat itu saya sebenarnya sedikit sedih karena teman-teman SD saya lebih banyak melanjutkan sekolah di salah satu SMP di Bojonggede yang lebih dekat dari rumah saya bahkan dibandingkan dengan SD saya sebelumnya. Tidak banyak teman saya yang berani bersekolah di kota, karena selain harus tes lagi karena pindah rayon sehingga tidak bisa menggunakan NEM (nilai UN di zaman itu), untuk sekolah di kota berarti perlu naik kereta yang saat itu belum senyaman sekarang dan juga belum seaman sekarang (pernah ada tawuran di kereta bahkan XD)

Saya sepertinya pernah cerita kalau saya perlu berangkat sebelum jam 5.30 agar mendapatkan kereta pertama menuju Bogor agar tidak telat untuk berangkat sekolah. Oh iya, dulu tiket masih berupa karcis kertas yang seinget saya harganya sekitar 1500 untuk perjalanan dari Bojonggede ke Bogor. Berarti bolak balik ongkosnya 3000 rupiah dan jadinya 90ribu sebulan? Tentu tidak. Dulu ada yang namanya abonemen, semacam kartu langganan per bulan. Ada dua macam, satu untuk anak sekolahan (si Doel dong XD), bernama KLS (Kartu Langganan Sekolah) satu lagi untuk orang dewasa bernama KTB (Kartu Trayek Bulanan). KTB harganya 45ribu per bulan kalau tidak salah dan KLS hanya 15ribu per bulan. Murah sekali bukan? Dengan catatan ini hanya untuk yang kereta ekonomi biasa ya bukan kereta ekonomi AC.

Kereta ekonomi AC itu sama seperti KRL yang sekarang, yang pintunya otomatis, jendelanya ketutup, tidak ada orang jualan dan memiliki AC. Kalau kereta ekonomi itu ada pintunya sih tapi biasanya sudah rusak, banyak orang jualan, jendela kebuka (ada yang pernah kelemparan batu) dan yang paling khas: ada orang yang naik di atas. Kurang lebih seperti ini:

Awal Desember Dihapus Tiket KRL Kelas Ekonomi
https://www.beritasatu.com/megapolitan/19247-awal-desember-dihapus-tiket-krl-kelas-ekonomi

Gerbong khusus wanita? Mana ada. Kereta ke Bogor untungnya tidak seramai kereta ke Jakarta sehingga Alhamdulillah tidak pernah terjadi kasus pelecehan ataupun semacamnya selama saya bersekolah. Kalau tawuran sih lumayan sering kejadian. Kalau ada tawuran biasanya kereta berhenti, dulu itu gampang banget memberhentikan kereta. Tentu saja bukan dengan menghadangnya di jalan ya tapi dengan menarik rem darurat. Kalau kereta tiba-tiba berhenti saya langsung mencari tempat aman agar tidak kena senjata orang tawuran. Dulu tidak banyak petugas di kereta ataupun stasiun jadi mudah sekali kumpulan pelajar SMA masuk dan membanting-bantingkan gesper ataupun gir. Saya pernah lihat orang yang berdarah-darah, teriak-teriak, ada juga yang tiba-tiba memukul orang. Banyak hal sih yang tidak menyenangkan terjadi di kereta masa itu, tapi banyak hal yang menyenangkan juga. Saya dan kereta itu love-hate relationship lah kalau bisa dibilang, wkwk

Mengingat Lagi Saat Drum Tam-tam Bercampur Aduk dengan Teriakan Pedagang di Dalam Kereta
https://www.kompasiana.com/indosport/5bcc66e5aeebe114264fa6c4/mengingat-lagi-saat-drum-tam-tam-bercampur-aduk-dengan-teriakan-pedagang-di-dalam-kereta?page=all

Oh iya, kereta juga yang membuat saya hafal banyak lagu, dari lagu lama zaman 80an sehingga lagu terkini. Dulu masih boleh ada musisi kereta masuk dan saat lama menunggu kereta memulai perjalanan di stasiun Bogor biasanya banyak musisi yang bergantian bernyanyi di dalam kereta. Ada juga yang melanjutkan hingga stasiun berikutnya. Ada yang suaranya biasa aja, ada yang suaranya bagus banget. Ada yang lengkap alat musiknya, ada yang kerecekan saja. Yang lengkap itu ada cello, drum portable dan gitar listriknya. Pas dengar kereta sudah tidak ada ekonomi lagi, ada sedikit sedihnya karena tidak ada musisi dan tukang jualannya lagi. Tukang jualan yang serba ada dan serba murah, dari peniti dan jepitan, alat jahit ajaib, buku-buku, kaos kaki, minuman, buah, tahu sumedang, dll. Saya dulu kalau mau beli sesuatu ya beli di kereta saja wkwk.

Stasiun Bogor juga memiliki kisah tersendiri untuk saya. Saya pernah menunggu kereta sampai berjam-jam di sana karena gangguan. Dulu ada perpustakaannya loh walaupun tempatnya kecil dan banyak berisi buku lama. Kalau kereta masih belum ada yang tersedia atau lama datangnya, saya menunggu di sana, walau lebih sering menunggu di pinggir peron sih wkwk karena perpusnya sering tutup. Saya dan geng saya (aseeek) alias tim angker (anak kereta) juga punya kenalan pedagang koran di staiun Bogor. Saya lupa namanya, beliau jadi tempat bertanya kami mengenai informasi terkini wkwk.

Karena sudah panjang, lanjut di pos berikutnya ya, pos ini dipikir-pikir lebih banyak membahas mengenai kereta ya. Selanjutnya tentang Bogor deh wkwk. Terimakasih sudah membaca XD.