Takut

Saya masih ingat saat ikut pagelaran tari di Taman Mini 23 tahun yang lalu. Saya menarikan Dindin Badindin bersama teman-teman TK saat itu. Yang teringat bukan detil tariannya, tapi kejadian setelahnya. Saya menangis karena diajak naik gondola (kereta gantung, bukan Gundala loh) oleh ayah saya. Saya menangis ketakutan padahal belum juga diajak sampai atas sedangkan adik saya sangat senang dan tidak sabar ingin naik. Akhirnya ayah saya hanya naik berdua dengan adik saya.

Saya memang memiliki banyak ketakutan saat masih kecil. Mungkin sama seperti anak-anak lainnya, saya takut dengan ondel-ondel atau boneka besar bergoyang lainnya dengan musik keras. Saya juga pernah takut dengan cahaya seperti kilat. Saya pernah menutup gorden saat siang hari, takut-takut tiba-tiba kilat dan petir menyambar. Saya juga tidak suka dipotret, karena kamera yang dimiliki saat itu selalu ada lampu blitz-nya saat memotret. Saya masih tertawa saat melihat foto masa kecil saya yang takut difoto tapi masih saja dipotret oleh ayah saya. Kok bisa ya takut dipotret. Orang tua saya sebenarnya heran dengan saya yang terlalu takut dengan banyak hal. Bahkan disuruh ikut lomba 17-an saya tidak mau. Namun anehnya saya tidak takut untuk pergi bersama orang lain (selain ayah dan ibu saya). Saya mau digendong oleh siapa saja dan tidak menangis jika diajak pergi oleh orang lain (ini berbahaya sebenarnya). Saya memang jago SKSD dari dulu.

Rasa takut banyak hal berangsur hilang saat saya masuk SD, terlebih lagi saat saya pindah dari Jakarta ke Bojonggede. Sepertinya sih tuntutan karir eh edukasi. Saya jalan kaki dari rumah ke sekolah kurang lebih 1,2 km dan sendirian. Saya akan sulit bersekolah jika masih takut dengan hal-hal itu. Apalagi di Bojonggede petirnya besar sekali. Tidak seperti di Jakarta atau Bandung. Mati lampu sering sekali karena hujan besar dan petir jadi dulu tidak ada tuh namanya menunda-nunda tugas. Keburu mati lampu. Alhamdulillah jadi rajin.

Saya pun tidak takut lagi untuk mengikuti perlombaan. Malah jadi suka banget. Lomba 17an dari lomba masukkin benang, kelereng, cerdas cermat, balap karung sampai ambil koin di buah penuh oli pun saya pernah dan sebagian besarnya saya menang (sombong kali). Sayang saja saya tidak boleh ikut panjat pinang karena memang tidak bisa, hihi.

Memang sih rasa takut itu bisa dihilangkan kalau terpaksa XD. Adapt or Die. Saya pernah takut naik pesawat terbang. Kebetulan sekali saya memang jarang kemana-mana yang membutuhkan pesawat sehingga saya baru naik pesawat 2 tahun lalu. Saya takut karena sering melihat berita-berita mengenai kecelakaan pesawat. Saya perlu hadir ke pernikahan teman saya saat itu dan saya deg-degan mendekati jam terbang (dicampur excited juga bisa menginap di bandara XD). Teman saya menenangkan dengan memberikan fakta bahwa pesawat adalah moda transportasi yang paling aman dengan angka kecelakaan paling kecil. Namun teman saya suka dengan keseimbangan, dia menambahkan lagi: tapi kalau ada kecelakaan langsung fatal. Alhamdulillah Akhirnya saya tidak takut lagi setelah melakukan penerbangan pertama. Kalau masih takut, mana bisa saya sampai ke India XD.

Bukan berarti sekarang saya bebas rasa takut ya. Saya masih sering takut dengan hal yang saya belum pernah coba, namun saya akan berusaha untuk mengatasinya dengan mencobanya terlebih dahulu (if it’s worth doing). Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya masih takut untuk naik sepeda ke jalan raya yang tidak ada jalur sepedanya. Saya akhirnya mencobanya dengan mengajak teman saya juga yang sama-sama belum pernah ke jalan raya, bahkan dia baru lancar naik sepeda. Akhirnya kami bisa menjelajahi jalanan ibukota dan juga sudah berani naik jalan layang (di pinggir tapi), ikut berbelok dengan kendaraan lainnya di Bundaran HI setelah sebelumnya cuma bisa ikut nyebrang bersama pejalan kaki wkwkwk. Sekarang sih baru sampai Kota tua dan Tanjung Duren. Selanjutnya semoga bisa lihat pantai, aamiin.

Rasa takut untuk dikalahkan selanjutnya: tinggal di tempat yang tidak terlalu familiar (di luar Jabodetabek dan Bandung). Saya masih ragu untuk jauh dari keluarga. Sekarang mencoba tinggal mandiri di kosan, tapi hati masih tenang karena Bogor masih bisa ditempuh dengan 1 jam perjalanan. Ya nanti kalau memang harus tinggal jauh dari keluarga berarti harus beradaptasi. Rasa takut tidak membawamu kemana-mana (kecuali takut kepada Allah SWT)

P.S: Tinggal di Setiabudi kalau takut sama anjing dan ondel-ondel, hidup tidak akan tenteram karena ada dimana-mana.

Tebak Gambar

“Jul, bikin tebak gambar lagi dong kayak dulu!”

Teman kantor saya tiba-tiba request tebak gambar saat video call ramai-ramai beberapa minggu lalu. Saya baru ingat (sering banget ya lupa) kalau saya dulu sering iseng-iseng membuat tebak-tebakan melalui gambar. Ya mirip-mirip dengan tebak gambar yang di Tonight Show itu loh. Saya pernah tiba-tiba mengirimkan rangkaian gambar di grup teman kantor dan meminta mereka menebaknya. Ternyata teman-teman saya tersebut sangat senang dan saya jadi semangat membuat tebak-tebakan saat saya masih komuter (bolak balik Jakarta-Bogor, tidak ngekos), jadi saya membuat tebak-tebakan untuk menghabiskan waktu di kereta.

Kebiasaan membuat tebak gambar itu bukan tercipta saat bekerja sih. Sebelumnya, saat kuliah saya senang membuat tebak gambar untuk mengumumkan sesuatu di grup, agar lebih menarik perhatian. Kebetulan sekali massa himpunan saya menerimanya dengan baik dan bahkan setelah kepengurusan saya kebiasaan menggunakan tebak gambar untuk pengumuman dilanjutkan, wkwkkw. Oh iya, saya baru tahu saya cukup terkenal dengan tebak gambar di himpunan saya setelah melihat pos ini:

Sampai masuk blog tugas himpunan angkatan 2013, wkwk

Semenjak ngekos di Jakarta saya sudah jarang membuat tebak-tebakan lagi. Sekarang saya merasa lebih sulit membuat soalnya. Kreativitas berkurang drastis. Sabar ya teman-teman, saya akan comeback di saat yang tepat XD.

100th Post

Selama 10 tahun lebih blog ini dibuat, saya baru mencapai 100 pos pada pos ini. Kurang lebih 9 tahun saya hiatus dari blog ini dan kemudian baru mulai menulis kembali tahun lalu. Setelah itu pun saya tidak langsung rutin menulis, namun Alhamdulillah menurut saya keterampilan menulis meningkat dibanding setahun lalu. Bukan kualitas tulisannya sih, tapi saya lebih mudah menulis apa yang saya ingin tuliskan sekarang dibandingkan tahun lalu.

Pada pos ke 100 ini, saya ingin memamerkan foto wisuda saya:

Fotonya sangat blur ya, hehe, bahkan tidak kelihatan logo dan nama kampusnya, maklum waktu itu belum punya HP kamera bagus seperti sekarang. Saya dulu juga tidak memesan paket wisuda bersama rektor ataupun foto studio bersama keluarga. Jadi, ini adalah foto saya satu-satunya bersama orang tua yang saya punya sekarang. Saat itu saya memang sempat terpikir untuk tidak ikut wisuda sehingga saya tidak banyak mempersiapkan banyak hal seperti wisudawan dan wisudawati lainnya. Bukannya tidak bersyukur bisa wisuda, tetapi saya sudah cukup senang untuk bisa lulus.

Dan sekarang saya menyesal pernah berpikir seperti itu. Orang tua saya sangat bahagia bisa duduk di Sabuga dan menyaksikan saya wisuda walaupun saya lulus lebih telat dibanding yang lain (atau mungkin karena lebih telat jadi ditunggu-tunggu ya, wkwk). Saya jadi ingat saat saya lulus SMA ibu saya ingin sekali datang ke prosesi lulus SMA namun tidak bisa karena sedang hamil besar. Padahal saat itu saya terpilih untuk ikut salah satu prosesi karena memiliki nilai terbaik di kelas. Jika saat itu ibu saya juga tidak bisa mengikuti wisuda sarjana saya, mungkin akan lebih sedih lagi.

Saya jadi teringat, orang tua saya pernah keberatan saya ikut SNMPTN tertulis untuk masuk ITB. Saat itu saya sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang daftar ulangnya bersamaan dengan SNMPTN tertulis. Jika saya mengikuti SNMPTN, otomatis saya tidak mendaftar ulang di PT tersebut, yang berarti saya melepas yang sudah saya dapat untuk sesuatu yang belum tentu didapat. Concern dari orang tua saya adalah kesehatan mental saya. Orang tua saya takut saya akan down jika nanti tidak lulus SNMPTN, karena saya memang sempat ikut ujian seleksi daerah ITB dan tidak lolos dan saat itu saya sedih sekali hingga menangis.

Pertimbangan saya saat itu adalah saya belum menerima beasiswa sama sekali di universitas negeri yang saya dapatkan saat itu, dan terdapat uang muka yang cukup mahal sehingga saya ingin melepaskannya agar tidak memberatkan orang tua. Ditambah lagi saya memang masih ingin mencoba untuk masuk ITB lewat SNMPTN yang uang mukanya bisa 0 rupiah. Orang tua saya meyakinkan saya kalau uang untuk membayar uang muka bisa dicari. Namun saat itu saya sangat yakin dengan SNMPTN dan saya meyakinkan orang tua saya dan berjanji untuk tidak sedih nantinya walau tidak diterima.

Alhamdulillah saat itu orang tua saya mengizinkan dan akhirnya saya diterima dan terpilih mendapatkan beasiswa walaupun belum mendaftar sebelumnya. Orang tua saya pun ikut bahagia, walaupun saya akhirnya lulus lebih lama dari teman-teman saya. Mungkin itu karena ada keberatan orang tua saya di awal XD (alasan). Tapi dari pengalaman itu saya merasakan sekali betapa orang tua saya sangat sayang dengan saya. Kalau dipikir-pikir lagi saya sangat beruntung memiliki orang tua seperti orang tua saya. Mereka selalu mengusahakan biaya sekolah saya dari TK tanpa beasiswa dan saya malah tidak berusaha untuk mencari beasiswa sama sekali saat sekolah, karena saya tidak sadar bahwa saya seharusnya butuh. Semakin tua umur saya, malah saya jadi lebih banyak membandingkan diri ke orang lain, yang membuat saya sempat merasa kekurangan padahal kehidupan saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Biarlah foto blur tersebut menjadi motivasi tersendiri untuk wisuda lagi. Semoga orang tua saya masih diberikan kesehatan untuk menghadirinya dan dengan fasilitas dokumentasi yang lebih baik lagi, aamiin.

S & G

Dan jika kamu menghitung hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar benar maha pengampun lagi maha penyayang”

(QS. An Nahl: 18).

Saya baru menyadari betapa kurang bersyukurnya saya akan nikmat dari Allah Swt yang selama ini diberikan. Saya terlalu fokus dengan masalah yang diberikan, bersedih cukup lama, tanpa menikmati dan bersyukur dengan nikmat yang telah diberikan selama ini. Saya sering ruminating, memikirkan terlalu dalam, memikirkan untuk mengubah hal yang tidak bisa saya ubah, yang seharusnya saya terima saja dan let it go. Terlalu merasakan dan memikirkan hal-hal yang telah hilang membuat saya tidak menikmati hidup.

Saya kemudian mencoba lebih fokus dan menikmati apa yang saya sudah dapatkan sekarang. Mengapresiasi sekecil apapun hal-hal yang saya lakukan dan menikmatinya. Mencoba untuk lebih mindful dan tentunya dengan tidak membandingkan diri ke pencapaian orang lain, lebih membandingkan ke diri di masa lalu. Eh ternyata, ada beberapa perubahan baik yang tidak saya sadari.

Saya baru ingat kalau dulu saya memiliki masalah dengan pelafalan. Ada huruf yang kurang jelas saya lafalkan Saya lupa huruf apa. Selain itu, saya juga sering sariawan karena tergigit gigi sendiri saat makan XD. Alhamdulillah sekarang sudah membaik setelah menggunakan kawat gigi. Saya perlu banyak bersyukur lagi karena telah diberikan rezeki untuk memiliki kawat gigi dan merawatnya. Sekarang setiap saya berbicara atau makan, saya jadi ingat hal ini, dan menjadi lebih menikmatinya.

Selain itu, saya perlu banyak bersyukur karena bulan lalu saya bisa menjalani operasi dengan lancar. Efek samping yang terjadi pada pasien pengangkatan tiroid lainnya seperti suara yang berubah dan tidak bisa mencapai nada tinggi ternyata tidak terjadi pada saya. Teman saya bahkan yang lebih sadar kalau suara saya tidak serak lagi dan lebih jelas. Saya masih bisa melakukan hobi saya, dan bahkan sekarang lebih baik lagi. Namun yang terpenting dari semua itu adalah sel-sel ganas itu sudah hilang. Saya pun tidak perlu melakukan ablasi. Oh iya, saya sudah membuktikan bahwa asuransi kesehatan itu sangat penting. Saya kaget melihat total tagihan dari rumah sakit. Harganya bisa untuk beli sepeda saya 13 buah wkkwk. Alhamdulillah ditanggung sepenuhnya oleh asuransi jadi tidak mengganggu uang tabungan.

Intinya sih banyak hal baik yang datang dalam hidup yang tidak saya sadari karena saya terlalu memikirkan hal yang tidak dapat saya dapatkan, terlebih lagi hal yang sulit saya ubah. Sebenarnya hal ini sudah sering saya baca di buku-buku pengembangan diri, tapi kalau lagi sedih banget jadi lupa dengan hal yang telah dibaca. Lebih banyak diterapkan untuk menasihati orang , wkwkwk.

Berkendara

Sesungguhnya salah satu kelemahan saya adalah mengendarai kendaraan bermotor, baik motor maupun mobil, apalagi bus. Saya pernah belajar motor beberapa kali, dari saat kuliah, baik menggunakan motor ayah saya maupun motor teman kosan saya. Keduanya adalah motor manual, dan saya memiliki masalah sering lupa mengatur gigi XD. Setelah belajar dari ayah dan teman saya tersebut, saya belum pede juga untuk melenggang ke jalan raya. Saya pikir mungkin karena bukan motor saya, wkwkw #alasan.

Tiga tahun lalu, saya membeli motor matic dengan harapan saya jadi lebih berani mengendarakan motor sehingga saya tidak perlu jalan kaki untuk pergi kemana-mana atau mengandalkan ayah atau adik saya yang sedang ada di rumah. Namun memang dasar saya yang panik, saya menabrak pagar tetangga rumah saya. Saya malah menarik gas terlalu banyak dan tidak memegang rem, sehingga saya menabrak pagar tersebut cukup kuat (suaranya kencang dan ada bagian pagar yang sedikit rusak). Saya beruntung karena tetangga yang saya tabrak rumahnya itu sangat baik hatinya. Dia tidak marah sama sekali, hanya bilang “Tidak apa-apa” dan tersenyum. Saya makin tidak enak hati sebenarnya apalagi ternyata dia membetulkannya itu sendiri.

Setelah kejadian tersebut, saya belum berminat mencoba mengendarai motor lagi, kalah dengan ibu saya yang baru belajar langsung bisa ngebut. Cocok bergabung dengan geng motor kerudung tengkorak, wkwk. Akhirnya motor tersebut dipakai oleh ibu saya. Saya pun karena pindah ke kosan saya pikir saya tidak butuh membawa motor karena kendaraan umum cukup dekat dan banyak pilihan. Bahkan ada bis gratis yang bisa mengantarkan saya sampai dekat kantor. Lebih sehat, pikir saya, padahal saya saja yang malas belajar motor lagi.

Saat Corona datang, kendaraan umum sangat terbatas, bahkan tidak ada saat awal-awal PSBB (kecuali KRL). Saya sungguh kesulitan untuk pergi kemana-mana. Gojek pun hanya melayani Gocar, yang berarti saya perlu mengocek uang lebih dalam kalau mau bepergian. Saya beruntung memiliki sepeda sehingga saya bisa menggunakannya jika tempatnya cukup jauh untuk berjalan kaki, namun tetap terbatas karena saya masih takut melewati jalan raya yang tidak ada jalur sepedanya. Saya baru menyesali mengapa saya tidak belajar motor lagi, dan mengambil ujian SIM, jadi saya bisa menggunakan motor saya untuk mobilisasi (contohnya ke rumah sakit atau pulang ke rumah XD) sehingga tidak tergantung dengan kendaraan umum.

Tidak hanya ingin belajar motor lagi, namun saya ingin bisa mengendarai mobil dan mempunyai SIMnya. Saya terinspirasi oleh teman saya yang bisa membawa mobil sehingga bisa ke luar kota dengan mudah. Memang sih kalau pandemi begini bagusnya tidak kemana-mana. Saya hanya iri saja mungkin karena saya ingin keluar kota seperti ke Bogor untuk mengunjungi orang tua dan ke Bandung untuk mengunjungi adik dan nenek saya tanpa harus tergantung dengan kendaraan umum.

Saat saya menceritakan niat saya untuk belajar mobil ke teman saya tersebut, teman saya malah bilang kalau bisa nyetir mobil nanti disuruh jadi supir terus wkwkkw. Pengalaman pribadi dia sepertinya. Saya sih memang terbayang yang enaknya saja, wkwk. Ditambah saat menggunakan Gocar beberapa waktu yang lalu, bapak supirnya sangat ngebut dan anehnya emotionally fulfilling bagi saya. Tidak membuat mual. Ternyata bapak supirnya mantan Voorijder, yang mengendarai mobil anggota dewan sehingga perlu keahlian mengendarai mobil secara cepat namun tetap nyaman bagi penumpangnya. Saya tanya bagaimana tipsnya, ya disuruh latihan sih intinya, bisa menggunakan aqua gelas dan usahakan supaya tidak jatuh saat ngebut, wkwk. Pikiran yang sudah terlalu jauh padahal motor saja masih belum berani. Bermimpi dulu lah ya XD

Manual Testing

Beberapa hari lalu, saya menerima sebuah paket. Saya tidak merasa membeli sesuatu jadi saya penasaran siapa yang kirim dan apa isinya. Ternyata paket dari Home Tester Club, isinya adalah sebuah shampoo Love, Beauty, and Planet. Saya kemudian teringat kalau saya memang mendaftar untuk menguji coba produk itu. Setelah saya mencobanya, saya akan memberikan review shampoo di situs Home Tester Club: https://www.hometesterclub.com/id/id/. Shampoonya segar Alhamdulillah 😁

Ada yang belum tahu Home Tester Club (HTC)? Jadi HTC itu semacam situs komunitas untuk mendiskusikan suatu produk dengan menguji coba dan membuat review dari uji coba produk tersebut. Produknya biasanya produk-produk rumah tangga seperti makanan, minuman, sabun, shampoo, bumbu penyedap, dkk. Makanan kucing pun pernah jadi salah satu produk yang diuji coba.

Home Tester Club

Untuk mendapatkan produk, kita perlu mendaftar dulu. Tidak semua orang dapat mendapatkan kesempatan untuk menguji produk tersebut, akan ada kuesioner yang perlu dijawab seperti range umur, pengeluaran, dan pertanyaan yang berhubungan dengan produk. Kuesioner itu untuk menentukan anggota mana yang paling cocok untuk menguji produk tersebut. Saya tidak selalu mendapatkan produk yang saya daftar, biasanya karena produk-produk tersebut yang biasanya banyak dipakai oleh ibu rumah tangga (padahal kan walau belum berumah tangga saya butuh juga XD). Saya biasanya mendapatkan produk makanan dan minuman atau semacam sabun dan shampoo.

Saya menjadi anggota HTC sejak tahun 2016. Tahun 2016 adalah tahun pertama saya memulai karir saya di dunia profesional (aseek). Pekerjaan tetap pertama saya adalah sebagai QA Engineer di suatu perusahaan FinTech di Indonesia. Saat itu saya sedang merenung mengenai career path saya ke depannya. Team Lead saya saat itu bilang ke saya, kalau mau jadi QA harus jadi QA yang keren. Saya sebenarnya tidak merasa saya bagus sebagai QA karena saya merasa kurang dalam attention to detail. Saya lupa apa ilham yang saya dapatkan saat itu sehingga saya merasa harus menjadi QA juga dalam kehidupan sehari-hari. Saya akhirnya menemukan situs HTC dan satu situs lain yang serupa (Lifull.id tapi sekarang sudah berubah menjadi situs pencarian rumah). Saya akhirnya mendaftar dan ternyata menyenangkan juga. Mendapatkan produk gratis sekaligus memberikan review. Review dapat berupa menjawab kuesioner yang diberikan atau menjawab telepon dan mendeskripsikannya secara langsung.

Tidak hanya mengikuti komunitas uji coba produk, saya juga daftar di Tester Work, situs yang menyediakan pekerjaan QA sampingan. Task-nya tidak sulit, sebanding dengan bayarannya. Ada task yang perlu menemukan bug sebanyak-banyaknya sehingga test case-nya kita sendiri yang rancang, ada juga task yang sudah ada test case-nya sehingga kita hanya mengikutinya dan menentukan apakah ada yang tidak sesuai dengan ekspektasi yang seharusnya.

Walau sekarang sudah tidak menjadi QA lagi, saya masih tetap mengikuti HTC atau Tester Work karena masih menjadi hal yang menyenangkan (mungkin karena ada hadiahnya wkwk). Karena ikut dua hal ini, saya merasa saya menjadi lebih baik dalam promosi produk dan menemukan bug dalam aplikasi. Bug seperti menghampiri saya sendiri tanpa dicari, haha.