Kisah Makhluk Kontrakan: Berawal dari Asrama

Karena belum ada cerita yang ingin saya ceritakan mengenai masa kini maupun masa depan, mari menceritakan masa lalu kembali. Saya tidak tahu keadaan saya sekarang jika saat tingkat pertama perkuliahan saya tidak memilih masuk asrama . Teman-teman dekat yang kini masih sangat sering berkomunikasi hampir sebagian besar saya temui di asrama. Walaupun saya adalah penerima beasiswa, saya tidak diwajibkan untuk masuk asrama. Awal-awal saya tinggal di rumah nenek.

Saya lupa siapa yang pertama kali mengajak saya ke asrama. Saat itu sepertinya saya sedang mengeluh karena kemacetan Cicaheum yang membuat saya sering terlambat di kelas Pak Toto, haha. Kelas yang dimulai jam 7 pagi dan tidak boleh telat lebih dari 3 kali. Saya sebenenarnya selalu berangkat sebelum jam 6 pagi Namun memang sih agar aman dari macet saya tidak boleh berangkat kurang dari 5.50 apalagi di hari Senin. Lewat beberapa menit saja bisa terjebak macet dan kelas Pak Toto tersebut salah satunya ada di hari Senin. Saat mengeluh ke teman saya tersebut, teman saya mengajak saya melihat asrama. Saya yang jarang menginap selain di rumah sendiri dan rumah nenek ini sangat penasaran. Bagaimana ya hidup dengan orang lain. Sepertinya bisa belajar bersama nih kalau di asrama, pikir saya saat itu (padahal kenyataannya saat teman-teman belajar sampai pagi saya cuma kuat sampai beberapa jam saja XD). Selain itu, saya juga bisa banyak berkenalan dengan teman-teman satu asrama. Berkesan banget sih. Bisa banyak kenal dengan teman dari berbagai daerah. Mencoba makanan berbeda dari oleh-oleh yang dibawa teman asrama. Oh iya, ada ibu penjual makanan yang suka berjualan pagi-pagi. Saya jadi tidak sulit menemukan sarapan. Yang serunya lagi: ada angkot yang ngetem di depan asrama jadi kayak berangkat bareng gitu deh sama yang lain dan diantar sampai gerbang belakang kampus.

Saya akhirnya pindah ke asrama. 1 kamar diisi oleh tiga orang. Saya satu kamar dengan Mba Arum dari FTTM dan Sri dari FTSL. Keduanya berasal dari Sumatera Barat. Sering sekali saya mendengar mereka mengobrol dengan Bahasa Minang kalau sedang tidak mengobrol dengan saya. Saya yang hanya campuran ini hanya mengerti sedikit-sedikit. Kata-kata yang paling sering didengar: Jago (Bangun), “Lalok” (tidur) dan “Baraja” (belajar). Kata-kata yang sering didengarkan mendekati ujian XD. Kedua teman sekamar saya ini mengikuti unit yang sama, Unit Kesenian Minangkabau, bersama Mba Ya teman satu fakultas saya. Saat itu walaupun saya sefakultas dengannya, saya tidak terlalu kenal karena belum pernah sekelas. Yang saya tahu, dia imba, haha (semoga orangnya tidak membaca ini wkwk). Dia mendapatkan 97 di nilai UTS Kimia. Saya saat itu penasaran yang mana orangnya hahaha. Akhirnya saya tahu setelah mengunjungi kamarnya di atas. Dia sekamar dengan teman sefakultas juga, El, dan Uswah dari FTSL. Mereka bertiga terkenal pintar kalau tidak salah saat itu, dan kamarnya pun super rapi XD. Belajarnya pun sangat rajin, bisa belajar sampai besok pagi untuk menghadapi ujian.

Saya kenal Mba Wid juga dari asrama, namun saat itu belum terlalu dekat. Saya lebih mengenal teman sekamarnya saat itu yaitu Timmy dari FTI dan Firda dari FTMD karena pernah bertemu di Gamais. Saya masih lumayan sering ikut pertemuannya saat masih TPB, saat sudah tingkat 2 sudah tidak pernah, hehe. Yang saya ingat saat itu mereka bertiga itu garang-garang. Bukannya galak, tapi terlihat sangar (sama saja dong). Naik motor kalau ke kampus, wkwk. Saat itu saya dan Mba Wid tidak terlalu kenal karena tidak pernah sekelas. Bahkan sepertinya jarang kumpul bersama saat masih di asrama.

Saat akhir semester dua, kami harus mencari tempat tinggal baru karena asrama akan ditempati oleh mahasiswa baru. Saya sempat bingung mau kemana, apakah saya akan kembali ke rumah nenek atau mencari kosan. Akhirnya saya diajak oleh Sri dan Mba Arum untuk mengontrak bersama Ria, El, dan Mba Wid. El, Mba Ya dan Mba Wid menemukan kontrakan murah di Cisitu Lama dekat asrama Sangkuriang. Tidak dekat-dekat amat sih, tapi sudah dekat penghujung gang Cisitu Lama. Dihitung-hitung bisa untuk 8 orang. Saat itu teman SMA saya juga (Haifa SITH) sedang mencari kosan/kontrakan, jadi saya mengajak dia untuk bergabung bersama kami. Teman asrama yang lain yaitu Epi juga mencari kontrakan. Jadilah kami ber-8 menempati kontrakan di Cisitu Lama berisi 4 kamar tersebut.

Ternyata kehidupan berkontrakan lebih banyak dramanya dibandingkan asrama, haha. Drama perlistrikan, perairan, permasyarakatan, persahabatan, dan lain-lain. Mungkin akan saya ceritakan lebih lengkap di seri Kisah Makhluk Kontrakan berikutnya. Masih ada seri makhluk kontrakan Cisitu Lama yang berevolusi menjadi makhluk kosan Ambu yang isi orangnya kurang lebih sama ditambah dengan teman-teman (yang lebih banyak sefakultas) lainnya: Ammy, Pewe, Aul, Farida, dan Hesti. Yang pasti kalau saya tidak ikut asrama mungkin saya tidak mengenal lebih dekat teman-teman saya tersebut (kecuali Ammy dan Widya yang sehimpunan dan sekelas) karna jarang sekelas dan saya juga tidak mengikuti organisasi yang sama dengan lainnya. Ospek fakultas tidak membuat saya mengenal semua orang soalnya hahahahaha. *memang orangnya banyak juga sih*

Impian

Sampai sekarang sebenarnya saya masih bingung impian saya sebenarnya apa, selain bahagia dunia akhirat. Maksudnya saya masih belum yakin pekerjaan atau profesi yang perlu saya tekuni untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat itu. Bukan berarti saya tidak senang dengan pekerjaan sekarang, tapi saya hanya belum yakin apa saya akan menekuni pekerjaan ini sepanjang hidup. Menjadi mobile developer memang keinginan saya sejak saya suka bermain games di hp. Saat itu ayah saya punya HP dengan OS Symbian S40. Saya sedih karena games di S40 lebih sedikit dibandingkan S60. Saya dulu punya keinginan kalau saya bisa membuat games sendiri saya akan memerhatikan HP dengan OS lebih rendah. Sekarang sih belum pernah bikin games sendiri sih di mobile, namun sekarang saya malah mendukung kalau mau menaikkan batas versi OS yang didukung.

Sebenarnya saat kecil kalau ditanya cita-cita itu saya selalu menjawab ingin menjadi profesor. Saya ingin jadi profesor karena saya dulu senang membaca buku mengenai penemu-penemu besar di dunia. Saat membacanya saya juga ingin menemukan sesuatu yang baru. Salah satu kartun kesukaan saya adalah Jimmy Neutron, karena dia membuat suatu hal untuk menyelesaikan masalahnya. Saat memasuki perkuliahan impian tersebut perlahan menghilang. Saya merasa saya tidak jenius dan tidak cocok sebagai akademisi, haha. Saya mulai kehilangan percaya diri saya karena membandingkan diri dengan teman-teman lain. Saya pikir saya tidak cocok di bidang akademisi, padahal karena saya mudah menyerah saja.

Oh iya, sebenarnya saat SMP orang tua saya pernah bilang kepada saya kalau mungkin tidak bisa membiayai saya untuk kuliah, karena biaya kuliah mahal dan lebih baik saya cepat bekerja saja. Saya disarankan untuk mengambil sekolah kejuruan saja. Saat itu saya hanya mendengarkan saja, saya tidak menyetujui atau menyanggah karena sesungguhnya saya bingung dengan keinginan saya sendiri. Namun di lubuk hati yang terdalam saya ingin seperti teman-teman lainnya yang ingin mengejar SMA terbaik di kota. Orang tua saya tidak pernah memaksakan keinginannya kepada saya. Orang tua saya mungkin tahu saya ingin melanjutkan ke SMA sehingga orang tua akhirnya mendukung. Alhamdulillah rezekinya mengikuti. Saya bisa masuk SMA yang saya inginkan. Setelah saatnya lulus, dilema datang lagi.

Saya bingung saya mau ambil jurusan apa. Yang saya tahu saya ingin sekali masuk ITB. Saya tidak tahu saya ingin menjadi apa. Saya lupa juga saya ingin menjadi mobile developer. Di awal-awal saya ikut-ikutan teman-teman saya yang ingin mengambil teknik industri. Sepertinya saat itu lagi nge-trend. Saya tidak tahu sama sekali dan orang tua saya sangat membebaskan saya. Jadilah saat harus menuliskan jurusan dan kampus impian di papan tulis saya menuliskan: Teknik Industri ITB.

Saya akhirnya masuk STEI ITB melalui SNMPTN. Alasan dibaliknya sedikit unik tapi mungkin akan dibahas di pos lain. Dilema kembali muncul saat pemilihan jurusan. Saya bingung harus memilih rumpun elektro atau informatika. Akhirnya saya memilih informatika dengan dua alasan utama: Saya tidak menyenangi mata kuliah dasar elektro saat TPB dan sepertinya kuliah informatika tidak perlu membeli banyak alat (perlu laptop saja). Saya masih lupa keinginan saya untuk menjadi mobile developer. Saya menjalani kuliah tanpa target nilai. Saya merasa bisa bertahan sampai akhir saya sudah bersyukur. Saya menyesali paradigma saya tersebut sekarang, haha.

Saat akhir tahun kuliah saya mulai bingung saya mau kerja apa. Saya merasa kemampuan coding saya biasa saja sehingga saya khawatir saya tidak akan diterima dalam interview kerja sebagai Software Engineer. Sebelum lulus saya sempat bekerja sampingan sebagai research assistant di Mobile Ecosystem Laboratory di Telkom Gegerkalong. Saya membantu penelitian untuk API management di bawah kakak tingkat saya di jurusan teknik elektro. Saya mendengar cerita pegawai-pegawai di sana yang sepertinya bahagia. Ada olahraga pagi bersama, lanjut kuliah dibiayai, sering makan bersama, ada izin untuk mengantar anak dulu (ya ampun saya dulu sudah kepikiran hal ini) yang sepertinya cocok dengan saya. Saya jadi bertekad untuk mendaftar Telkom setelah lulus.

Namun saya akhirnya belum mendaftar Telkom hingga sekarang dan saya akhirnya mendaftar start up dengan rekomendasi Mba Ya. Mba Wid juga di sana sehingga saya merasa akan menyenangkan kerja di sana. Saya diterima sebagai Quality Assurance and Deployment Engineer. Saat itu saya mengetes produknya dengan platform web dan juga EDC. Semua masih dilakukan manual. QA juga bertugas untuk men-deploy produk. Saat men-deploy ke production sih tidak dilakukan sendiri, tapi dilakukan oleh semacam devops (saya lupa nama jobnya saat itu) namun QA perlu mengawasi. Deployment ke prod biasanya dilakukan tengah malam sehingga saya perlu menginap di kantor. Saya hanya bertahan 6 bulan dan kemudian saya mencoba mencari pekerjaan di tempat lain sebagai Software Engineer. Saya tidak diterima sebagai SE namun ditawari sebagai QA Engineer. Saya terima karena selain benefit yang lebih baik, saya juga tidak mengetes manual lagi, namun sudah membuat automation test.

Saat itu saya berpikir akan menekuni bidang QA saja walau sempat iri dengan teman-teman yang menjadi software engineer. Memang rumput tetangga selalu lebih hijau, haha. Saya akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi iOS Developer. Saya senang namun saya merasa tidak berbakat. Lagi-lagi saya terlalu mengikuti perasaan saya. Saya menyadari saya perlu lebih gigih lagi bukannya menghindar haha. Saya tidak tahu apakah ini adalah akan jadi jalan hidup yang tetap atau tidak, wkwk. But let’s see dan jalani dengan lebih baik untuk kesempatan yang sekarang. Siapa tahu di kemudian hari saya bekerja di Telkom seperti Fajrin Rasyid.wkwkwkwkkwkw

Kota Bogor

Sengaja menulis judulnya lengkap pakai kata “kota” karena saya ingin menceritakan apa yang saya ingat mengenai kota Bogor di luar tempat tinggal saya yang berada di Kabupaten Bogor. Untuk ke depannya mari kita sebut Bogor saja. Kehidupan saya di Bogor itu hanya 6 tahun yaitu saat bersekolah di SMP dan SMA. Itu pun lebih banyak berlatarkan sekolah dan stasiun karena saya jarang jalan-jalan hahaha.

Bogor itu mirip Bandung dari suasananya, tapi tidak sedingin Bandung. Sering sekali hujan sehingga saya tidak pernah lupa membawa payung di dalam tas. Kota seribu angkot. Saya rasa angkotnya lebih mudah ditemui di Bogor dibandingkan di Bandung. Tidak seperti di Bandung yang angkotnya berwarna-warni, angkot Bogor cuma ada dua warna dasar: biru dan hijau. Warna hijau untuk angkot Kota dan warna biru untuk angkot kabupaten. Yang membedakan antar angkot di satu daerah itu adalah strip body-nya, ada yang berwarna ungu, putih, kuning, pink, dkk. Saya biasanya tidak menghafalkan warnanya, tetapi dari nomor jurusannya. Bahkan nama jurusannya kemana pun tidak terlalu hafal yang penting nomornya. Dulu sih ada dari 01 sd 14 ya, tidak tahu kalau sekarang.

Walaupun Bogor juga bagian dari Jawa Barat yang mayoritasnya orang Sunda, saat sekolah teman-teman saya tidak banyak yang menggunakan Bahasa Sunda. Campur-campur lah. Saat pelajaran Bahasa Sunda banyak juga yang tidak tahu XD. Panggilan ke kakak kelas sih masih Sunda banget yaitu A’a dan teteh. Ada juga beberapa budaya yang khas Bogor banget, seperti cucurak (tradisi makan-makan sebelum Ramadan). Ibu saya yang orang Bandung pun baru tahu saat di Bogor. Oh iya, di sekolah sih dulu tidak ada yang pakai kata ‘aing’ seperti di Bandung. Lebih banyak yang pakai “gw” dan “lw”.

Saya jarang jalan-jalan sebenarnya di Bogor, ke taman safari saja belum pernah. Kalau kebun raya sih jangan ditanya, sering banget karena SMA saya ada di depan kebun raya. Kalau ada acara apa-apa biasanya sih di sana. Acara organisasi, ekskul (dulu SMA saya membedakan antara organisasi dan ekskul) atau acara dari rumah biasanya diadakan di sana. Beberapa teman saya memiliki orang tua yang bekerja di LIPI sehingga mendapatkan diskon untuk tiket masuk sana, dan biasanya saya ikut-ikut saja. Beberapa teman kantor sekarang sering sekali bertanya kuliner apa yang direkomendasikan. Saya cuma bisa menjawab di sekitar Taman Kencana atau Taman Topi karena saya bukan orang Bogor kota XS. Tahunya ya dua tempat itu. Tempat beli macaroni panggang, pia apple pie, kedai kita itu di Taman Kencana. Kalau Taman Topi sih karena dekat stasiun, kalau ambil raport saya dan keluarga sering membeli es krim durian dan batagor di dalam Taman Topi. Ada juga tempat bermain anak-anak di sana. Bisa main sepeda layang dan bom bom car juga.

Kota Bogor sebenarnya kota yang aman, namun karena saya lebih sering melewati daerah stasiun dan pasar, kejadian kecopetan itu hal yang sering didengar. Dulu apalagi saat orang-orang bebas untuk masuk ke stasiun (belum ada sistem e-tiket) dan juga masih banyak pedagang kaki lima di sekitaran stasiun. Jangan pernah gendong tas di belakang kalau sedang di sekitar stasiun karena pencopetnya lihai sekali mengambil barang tanpa terasa oleh kita. Alhamdulillah saya tidak pernah dicuri namun sempat hampir kena saat di dalam kereta, pencurinya mencoba mencari kantong celana saya. Namun saat itu saya untungnya sedang tidak memakai celana berkantung. Menaruh barang di tas pun perlu strategi karena banyak modus pencurian menggunakan silet untuk membuka isi tas dari bawah. Pencurian juga tidak selalu dilakukan sendiri, kadang berkelompok, perlu hati-hati dan jangan sampai mengganggu kelompoknya (membongkar rencana satu orang biasanya diback up yang lain). Abah saya pernah menegur namun akhirnya malah dimarahi beberapa orang. Saya dan abah saya saat itu sedang di dekat pintu (pintunya tidak tertutup tentunya saat jaman dahulu) sehingga saya khawatir ayah saya akan didorong keluar. Untungnya itu hanya di bayangan saya saja. Kok jadi cerita kriminal di kereta. Memang tidak habis-habis kalau membahas perilaku kriminal di kereta, banyak banget modusnya. Kreatif sekali memang orang Indonesia.

Apalagi ya yang saya ingat tentang Bogor. Nanti deh cerita lagi kalau ada yang saya ingat, hehe.

Cerita di dalam bus

Beberapa tahun lalu saat saya sedang berada di rumah saya di Bogor, tiba-tiba saya mendapat kabar yang mengharuskan saya ke Bandung segera. Saya harus segera menemui dosen pembimbing saya hari itu juga pada sore harinya. Biasanya saya pergi ke Bandung naik kereta api, namun saat itu sepertinya saya sedang senang naik bis. Selain lebih murah, naik bis juga lebih mudah aksesnya. Saya hanya perlu naik KRL dari stasiun Bojonggede dan melewati dua stasiun saja untuk menuju terminal bus di stasiun Depok Baru. Saya naik bus MGI jurusan Depok-Leuwipanjang. Saat itu harga tiketnya sekitar 70ribu kalau tidak salah, apa 50 ribu ya, saya lupa. Jika saya naik kereta, saya perlu naik KRL sampai Gondangdia (karena KRL tidak berhenti di Gambir) dan kemudian berjalan kaki sampai stasiun Gambir atau kalau lagi malas bisa juga naik kopaja. Harga tiket kereta juga lebih mahal, namun waktu perjalanannya biasanya tepat, tidak banyak faktor yang menghambat seperti kemacetan kalau naik bis.

Saya pun naik bis sekitar pukul 9 pagi. Saya pikir aman saja untuk berangkat pada jam tersebut karena masih berjarak 6 jam dari jam pertemuan. Biasanya tidak pernah melebihi 4 jam perjalanan saat naik bis dari Depok ke Bandung. Bis saat itu tidak terlalu penuh, jadi saya bisa duduk sendiri tanpa teman sebelah. Bis pun berangkat. Saya dulu tidak biasa tidur saat perjalanan, jadi saya menikmati pemandangan dari jendela saja, sambil memikirkan apa saja yang akan saya sampaikan kepada dosen pembimbing.

Setelah beberapa waktu berlalu, mungkin sekitar satu jam, saya baru menyadari bis tidak melalui tol Cipularang seperti biasanya. Saya bingung karena melewati pinggir pegunungan, bukannya jalan lurus seperti biasanya. Saat saya melihat plang alamat suatu toko, saya melihat nama daerahnya: Kabupaten Bogor. Wah saya balik lagi dong XD, walau kabupaten Bogor memang luas banget sih. Ternyata saat itu jembatan Cisomang tidak boleh dilalui bis karena mengalami kerusakan, sehingga jalur diarahkan melewati puncak.

Saya berharap walau tidak lewat tol seperti biasanya, saya bisa sampai Bandung tepat sebelum waktunya. Jalanan menuju puncak tidak lancar ditambah dengan hujan. Hujan cukup deras saat melewati belokan belokan tajam di sisi gunung. Mobil melaju dengan cepat saat melewati belokan tersebut. Saya yang penakut ini benar-benar deg-degan dan terus berdoa. Semoga selamat sampai tujuan dan juga bisa sampai secepatnya. Alhamdulillah separuh doa saya terkabul, saya bisa sampai Bandung dengan selamat. Hanya saja saya sampai Bandung pada pukul 5 sore XD. Perjalanan 8 jam di bus. Sejak saat itu saya belum pernah naik bis ke Bandung lagi. Bukan karena trauma, namun sekarang akses ke Gambir sudah lebih mudah. Jadi ingat saya pernah naik travel saat malam libur, Travel yang harusnya berangkat jam 19.30, baru berangkat dua jam kemudian karena mobilnya baru datang setelah melalui kemacetan. Di perjalanan pun macet sehingga baru sampai Bandung sekitar jam 5 pagi. Saat turun travel langitnya sudah cukup terang, haha.

Olahraga

Masih ingat saya dulu iri dengan Abah (bapak) saya yang merupakan atlet komplek. Beliau sepertinya selalu diikutkan dalam pertandingan antar RT di beberapa cabang.: Voli, catur, badminton dan sepakbola. Sebenarnya mungkin karena jumlah warga di satu RT itu sedikit jadi selalu diikutkan wkwk, tapi Abah saya itu termasuk jago di pertandingan Voli dan Catur. Saya selalu excited untuk menonton pertandingan yang biasanya diadakan saat Agustus untuk menyambut hari kemerdekaan karena biasanya Abah ikut bermain. Apalagi kalau pertandingan voli, tim RT saya biasanya masuk hingga final atau semi final.

Nah, saya iri karena sepertinya minat atau bakat olahraga tidak turun kepada saya. Dari keempat olahraga yang Abah ikuti, saya tidak merasa bisa XD. Saya tahu aturan permainannya karena saya suka menontonnya, namun saat prakteknya sih payah banget ya hahaha. Saya sebenarnya suka pelajaran olahraga karena saya suka memakai baju olahraga, wkwkw. Saat pelajaran olahraga pun biasanya outdoor, jadi saatnya bisa keluar kelas. Saya senang di bagian atletik dibanding permainan menggunakan bola mungkin karena lebih sederhana.

Saat sekolah saya tidak melakukan banyak olahraga di luar jam sekolah namun berat badan masih bisa stabil karena saya dulu tidak suka jajan dan commute dengan berjalan kaki. Saat kuliah saya tidak pernah berolahraga lagi kecuali saat mata kuliah olahraga yang hanya di satu semester. Ke kampus ataupun kemana-mana lebih sering menggunakan angkot atau nebeng Mba Wid bonceng tiga haha (ya ampun dulu masih muat bertiga). Jalan kaki tidak terlalu sering dan itu pun jaraknya dekat. Berat badan masih normal karena memang tidak terlalu banyak makan. Namun anehnya wajah saya terlihat lebih chubby saat kuliah.

Saat memasuki dunia kerja setelah lulus, mungkin karena sudah tidak kepikiran skripsi dan juga sudah memiliki gaji, saya jadi sering makan dan jajan. Apalagi ada budaya WIB (Waktu Indonesia Break) di kantor alias jajan sore. Saya tidak pernah berolahraga dan sering naik busway dan kereta dan karena pulangnya malam jadi Abah menjemput saya di stasiun menggunakan motor. Berat badan saya langsung melonjak hampir 15 kg dari masa kuliah. Saya bahkan tidak menyadarinya karena saya tidak mengukurnya saat itu. Saya baru menyadari saat teman saya mulai bilang kalau saya terlihat gemuk.

Saya sebenarnya sudah mencoba beberapa olahraga. Saya pernah ikut klub bulutangkis di kantor. Saya mengikuti latihan 2 atau 3 kali namun seterusnya tidak ikut lagi karena saya sering cedera tangan entah mengapa, seperti lepas dari sendinya. Jadwalnya pun terlalu malam. Selanjutnya saya mengikuti klub lari setiap Selasa atau Kamis malam setelah jam kantor. Lari mengitari GBK bersama teman-teman kantor. Saya ikut beberapa kali namun saya tidak ikut lagi karena selain saya tidak kuat angin malam, saya juga tidak enak dengan teman-teman saya yang sering menunggu saya berlari dengan pace yang lama.

Saya akhirnya mencoba olahraga indoor seperti yoga. Saya diajak teman saya untuk mengikuti yoga yang dibimbing oleh temannya. Saya tertarik mencoba karena siapa tahu ini adalah olahraga yang tepat untuk saya. Selain sulit, ternyata saya juga bosan mengikutinya, wkwk. Saat pertama kali mencoba itu bahkan saya ketiduran di sesi pendinginan. Ada bagian dengan posisi rebahan sambil menutup mata selama beberapa hitungan dan mengatur nafas. Saya memang mudah sekali tertidur kalau rebahan. Saat saya membuka mata ternyata sudah dalam posisi namaste. Beberapa bulan kemudian kantor mengadakan sesi olahraga setiap minggu bergantian antara yoga, zumba, dan body combat. Saya mengikuti beberapa kelas (kecuali yoga tentunya) namun berakhir saat pandemi datang. Saya mencoba sesi zumba sendiri di rumah tapi tidak terlalu exciting (dan saya tidak memaksa diri) sehingga tidak menjadi rutinitas.

Ternyata saya lebih suka olahraga luar ruangan yang bisa mengeskplorasi jalan dan melihat-lihat pemandangan (walau kebanyakan gedung sih) seperti bersepeda, jalan kaki, dan berlari. Saya suka menemukan jalan baru yang belum pernah dilewati. Menikmati angin walau kalau di Jakarta sih udaranya tidak terlalu segar ya, lebih baik pakai masker. Kalau di Bandung malah lebih menarik karena udaranya yang segar dan penduduk sekitar yang ramah. Setiap saya olahraga keliling-keliling selalu ada yang menyapa bahkan memberi semangat. “Lari Neng?” “Semangat Larinya!”. Sarapannya juga seru-seru untuk dicoba. Kekurangannya itu jalannya tidak terlalu oke untuk lari kalau di pinggir jalan, tidak seperti pedestrian di Jakarta yang lebar-lebar.

Sekarang sedang mencoba merutinkan dengan mencoba menyelesaikan challenge-challenge di Strava. Teman-teman ternyata banyak yang berolahraga juga. Jadi motivasi juga lihat orang-orang bisa lari atau sepedaan bisa sampai puluhan kilo meter. Ala bisa karena biasa. Mungkin kalau saya bisa rutin olahraga saya bisa kuat berolahraga sampai puluhan km begitu. Aamiin

Hackathon

Karena nonton drama Korea yang isinya mengenai perjuangan suatu start up mendapatkan funding dari investor melalui suatu event yang di dalamnya ada Hackathon, saya jadi ingat saya pernah mengikutinya beberapa kali. Kalau tokoh di sana mengikutinya karena ingin mendapatkan funding kalau saya sih karena makanannya, wkwk. Makanannya biasanya free flow walau harus bergadang. Cari pengalaman juga sih dan saya rindu kompetisi juga saat itu.

Hackathon Pertama

Pertama kali saya ikut hackathon itu pada bulan Juni tahun 2014, kalau tidak salah saya diajak oleh teman saya, Mba Ya yang diajak oleh Sisil. Acaranya namanya Code For Vote 2.0, saat itu sedang masa pemilihan presiden. Tantangannya yaitu membuat aplikasi menggunakan API Pemilu yang tersedia. Kami langsung membentuk tim. Satu tim sebenarnya maksimal ada 5 orang namun kami memiliki satu orang lagi yang menjadi designer untuk aplikasi kami.

Hackathon yang ini tidak seperti hackathon lain yang pembuatan aplikasinya dikerjakan selama 24 jam. Di kompetisi ini tim peserta yang idenya terpilih akan menyelesaikan aplikasinya di acara yang tidak sampai 12 jam. Saya lupa sih apa boleh dikerjakan sebelumnya dulu, yang saya ingat sih di sana cuma diberikan sekitar 6 jam untuk mengerjakan. Alhamdulillah ide tim kami terpilih dan kami diberikan akomodasi ke Jakarta di acara finalnya.

Kami membuat aplikasi games trivia dan informasi calon presiden dan wakil presiden yang bertujuan mengedukasi masyarakat. Kami namakan “Otak Suara” wkwk pelesetan dari kotak suara. Dari 61 peserta Alhamdulillah kami masuk ke babak 16 besar. Beruntung banget padahal baru pertama kali.

Di TKP. Bersama Mba Ya, Atika, Sisil dan Mba Wid.
Logo aplikasi Otak Suara

Hackathon Kedua

Beberapa bulan setelahnya, adik angkatan saya mengajak saya untuk mengikuti Hackathon yang diselenggarakan oleh PulseLab di Bandung Digital Valley. Kalau yang ini benar-benar dikerjakan selama 24 jam, jadi perlu bergadang. Ada dua topik yang bisa dipilih dengan dataset yang berbeda yaitu JasaMarga dan BPJS. Kami memilih dataset BPJS dan membuat aplikasi web yang mempermudah pengguna untuk mencari rumah sakit terdekat yang menerima BPJS dan juga fitur lainnya untuk memperkirakan harga.

Saat hackathon, jujur saya ngantuk sekali haha. Saya belum pernah bergadang selama 24 jam. Untungnya saya tidak bisa tidur sambil duduk. Panitianya kalau tidak salah saat itu juga menyediakan hiburan dan makanan agar kami tetap bersemangat.

Hackathon berakhir pada keesokan harinya dan ditutup dengan presentasi. Presentasi dilakukan oleh teman saya, Ikhsan. Saat pengumuman pemenang, sebenarnya saya tidak berharap banget karena yang ikut aplikasinya keren-keren. Pengumuman dimulai dari juara 3 terlebih dahulu. Hingga juara 2 disebut kami sudah pasrah karena tim kami tidak disebut juga. Alhamdulillah ternyata kami juara 1. Saya beruntung satu tim dengan Ted dan Ikhsan yang jago coding dan presentasi. Saya mah ikut-ikutan saja XD.

Suasana hackathon saat itu di BDV
Bersama teman satu tim: Ted dan Ikhsan.

Hackathon Ketiga

Dua bulan kemudian diadakan hackathon lagi. Kali ini lebih besar yang diadakan oleh Telkom yang tempatnya di Sabuga. Hackathon yang berlangsung selama 24 jam juga. Saya sekelompok dengan 3 orang lainnya, yaitu Fawwaz, Ikhsan, dan Azal. Kali ini kami membuat aplikasi mobile untuk mempermudah pasien untuk mengantri di rumah sakit, kami namakan Interstellor, saya lupa apa arti dibaliknya haha.

Hackathon kali ini ramai sekali. Walau sabuga luas, tetap saja terasa berdesak-desakkan terlihat dari meja yang cukup rapat satu sama lain. Selain disediakan banyak makanan (tujuan utama saat itu wkwk), ada juga booth games, booth pijat dan di akhir acara ada performance dari Vierra. Saya lupa ada artis apa lagi. Di hackathon kali ini sih tidak menang, namun kami masuk 50 besar kalau tidak salah jadi kami dapat voucher carrefour, Alhamdulillah.

Cuma ada foto blur ini wkwkwk

Setelah 3 hackathon tersebut, saya belum pernah mengikuti hackathon lagi. Kalau sekarang sih merasa belum bisa mengatur waktu. Padahal lagi ada yang seru. Next time deh, siapa tahu jadi start up beneran, aamiin

Ekstrovert

Saat teman saya membahas mengenai tipe kepribadian MBTI di suatu grup, saya jadi penasaran mencoba lagi karena siapa tahu hasilnya berubah setelah lama WFH. Ternyata ada beberapa yang berubah, namun indikator pertamanya tetap ekstrovert haha. Teman – teman saya dengan mudah menebak kalau saya ekstrovert karena memang saya senang berinteraksi dengan banyak orang. Saya rasa energi saya didapat dari situ. Namun sebenarnya saya tidak menyadari kalau saya ekstrovert sebelum mencoba tes MBTI saat ospek kuliah.

Di masa sekolah (SMP dan SMA) saya tidak mempunyai banyak teman karena saya sangat malu untuk berkenalan atau memulai pembicaraan dengan orang yang pertama kali bertemu. Tidak seperti sekarang. Oh iya, tidak punya teman bukan berarti punya banyak musuh loh. Saya biasanya punya lingkaran pertemanan yang isinya maksimal 5. Saya sering kaget sekaligus senang kalau ternyata teman SMP atau SMA ada yang tahu nama saya padahal tidak pernah sekelas. Saya bukan pemenang olimpiade atau pemilik prestasi membanggakan lainnya jadi tidak terkenal kalau tidak sekelas. Kalau SD selain muridnya sedikit jadi hampir saling mengenali, saya juga memiliki beberapa prestasi yang lumayan, jadi saya cukup diingat.

Selain tidak pandai berkenalan, saya juga tidak mengikuti banyak organisasi. Daftar banyak sih, tapi akhirnya gabuters alias saya jarang menghadiri kegiatannya. Saya malas saja berkumpul, lebih nyaman pulang ke rumah lebih cepat. Saya mendaftar organisasi karena saya sebenarnya tertarik dengan kegiatannya di awal dan sekolah saya dulu terkenal bagus organisasi-organisasinya di kota saya. Awalnya semangat, namun akhirnya menyerah juga. Saya sedikit menyesal tidak mengasah kemampuan organisasi sehingga saat kuliah saya mencoba aktif di satu organisasi.

Saya masih ingat saya ditunggu di depan pintu agar saya bisa menghadiri suatu kegiatan yang memerlukan kuorum. Saya punya banyak alasan dan bahkan pernah saya diam-diam kabur. Jahat ya. Saya baru sadar saat di kuliah wkwk. What goes around really comes around. Giliran saya yang kena saat kuliah.

Sepertinya semuanya berubah saat masuk kuliah. Saya jauh dengan keluarga, jadi saya merasa perlu memiliki banyak teman dan saya tidak ingin lagi jadi gabuters. Saya sampai membaca buku “How to Win Friends and Influence People” tapi yang versi untuk remaja perempuan karya Donna Dale Carnegie. Menurut saya sih cukup berhasil, walau mungkin bagian “Influence”-nya sih belum, wkwk. Dari situ saya merasa berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda itu menyenangkan. Saya juga jadi masuk divisi Pengembangan Sumber Daya Anggota di himpunan yang pekerjaan utamanya itu mengurusi orang XD.

Takut 2

Karena peristiwa terjatuh dari sepeda yang meninggalkan luka yang ternyata memerlukan waktu yang lama untuk sembuh, saya jadi ingat mengapa saya dulu sempat takut untuk naik motor, tepatnya di bagian penumpangnya, bukan pengendara. Saya memilih jalan kaki atau naik kendaraan umum saat masih sekolah dulu, walau lebih lama. Jarak dari stasiun ke rumah kalau jalan kaki cuma sekitar 15 menit saja untungnya. Saya sering menolak tumpangan motor dengan dalih jalan kaki lebih sehat padahal saya sepertinya masih trauma ya.

Jadi saya sempat mengalami kecelakaan waktu kelas 3 SD. Saat itu saya sedang berjalan kaki menuju sekolah. Saat sudah dekat, kira-kira 200 m lagi menuju sekolah teman saya lewat di samping saya menggunakan motor (dia dibonceng tentunya). Dia atau bapaknya saya lupa menawarkan tumpangan di motornya. Saya sempat menolak namun saya juga tidak kuat dipaksa, wkwk. Saya akhirnya naik di posisi paling belakang. Tidak lama setelah berjalan, kaki saya terasa sakit dan saya langsung berteriak. Kaki saya yang bagian belakang masuk ke dalam rantai motor. Saya sepertinya langsung lemas dan setengah tidak sadar.

Yang saya ingat, setelah itu saya diangkat oleh guru olahraga saya ke ruang guru, mungkin saat itu guru olahraga saya tersebut sedang dekat dengan lokasi. Saat di ruang guru saya ingat banyak orang yang berkerumun di depan ingin melihat ke dalam. Ya tipe-tipe orang kalau melihat ada yang kecelakaan, jadi penasaran. Saya diobati di sana. Sepatu saya tidak bolong sama sekali namun di dalamnya berdarah banyak, kulit dan dagingnya seperti terkikis karena gesekan. Saya lupa setelah itu saya pulang atau tetap bersekolah. Yang saya ingat setelah itu saya malas dibonceng.

Saya juga jadi ingat penyebab saya tidak suka nonton bioskop. Ceritanya belum ada yang tahu sebenarnya kecuali orang tua saya. Teman-teman tidak sedikit yang bertanya, namun saya jawab seadanya saja. Saya belum bisa menceritakannya karena traumanya masih sedikit terasa dan sedikit dark. Kalau saya sudah fully healed Insya Allah akan saya ceritakan di blog ini.

Tempat Tinggal Sementara

adalah dunia.

Itu benar tapi sebenarnya saya mau menceritakan tentang tempat tinggal yang ditempati sekarang. Kosan lebih tepatnya. Kosan ini adalah kosan terlama selama ini yang pernah saya tempati. Sebelumnya, saya sering berpindah kosan, bahkan lebih sering sebagai PGT alias Penghuni Gelap Tetap.

Awalnya saya juga penghuni gelap di kosan ini. Saya sering menginap di kamar Mba Wid (teman kuliah dan juga teman kantor) bahkan sebelum sama-sama bekerja di tempat sekarang. Saya dulu seorang komuter, sebutan untuk orang yang pulang pergi untuk bekerja di kota yang jauh dari tempat tinggalnya setiap hari. Pagi sekali berangkat dari rumah di Bogor ke Jakarta lalu kembali lagi malamnya. Jika saya ada keperluan sehingga bari bisa pulang terlalu malam, saya biasanya menginap di tempat teman saya tersebut.

Saya cukup sering menginap di sana tapi saya tidak tahu kalau Mba Kosan sampai hafal dengan wajah saya karena seingat saya, saya datang di malam hari dan pulang besok paginya. Sampai saat saya sedang wfh di lantai 4 (thanks to Firstmedia yang mengalami gangguan sehingga saya perlu mencari sinyal di atas) dan ditemani oleh Mba Kosan. Mba Kosan bilang kalau saya dulu gendut sekali saat masih sering menginap sebagai penghuni gelap. Saya memang dulu pernah sampai 10 kg lebih berat dari sekarang, padahal saya bolak-balik Jakarta-Bogor setiap hari kerja. Sepertinya berdesak-desakkan di kereta selama lebih dari dua jam setiap harinya bukan olahraga yang tepat bagi saya XD

Akhirnya saya memutuskan untuk kos setelah naik gaji, Alhamdulillah. Saya pikir dengan mengekos bisa lebih mandiri dan juga waktu yang biasanya dihabiskan di perjalanan bisa digunakan untuk hal lain atau sekedar untuk istirahat. Pas sekali saat itu kamar yang persis di sebelah Mba Wid kosong. Kosan saya itu termasuk sangat laris, jarang sekali kosong. Saya mengerti sih, kosan dengan fasilitas kamar mandi dalam, sudah termasuk listrik, laundry sehari langsung kering, bisa parkir motor di daerah Setiabudi, sangat sulit ditemukan yang harganya sekitar 1,5 juta untuk yang ber-AC dan 1 juta untuk yang non-AC. Tempatnya pun rapi dan bersih. Mba Kosan yang baik dan tegas sehingga tidak ada yang berani kotor di kosan, dapurnya juga selalu bersih, walaupun cuma ada di lantai 4.

Saat tahun pertama di kosan ini tuh saya cuma mengenal Mba Wid saja. Tahun berikutnya karena ada teman kantor lain masuk jadi saya kenal dua orang, wkwk. Padahal ada sekitar 20 orang di kosan. Saya juga tidak tahu kalau ada rooftop yang bisa dipakai untuk main bersama. Dulu lantai 4 terasa jauh sekali, setiap naik pasti terengah-engah di atas, sekarang sih sudah tidak, mungkin sudah terbiasa. Mungkin hikmah corona ya, saya juga jadi kenal banyak orang di kosan. Sudah mengetahui siapa pemilik sepeda serupa di kosan dan bahkan saya bisa meminjam pompa secara gratis, wkwk.

Oktoberia

“Jika kita tidak menyibukkan diri kita dengan kebaikan maka kita akan disibukkan dengan keburukan”.

lupa pernah dengar dari mana

Bulan Oktober ini Alhamdulillah dijalani dengan lebih baik dibanding bulan sebelumnya. Saya memang mencoba berbagai banyak hal untuk mengusir mood swing yang datang pada bulan-bulan lalu. Saya menerapkan apa yang saya tulis di pos sebelumnya (September Mis(t)ery: Operasi Bukan Perjuangan Terakhir) dan juga mencoba mengisi jadwal dengan lebih banyak kegiatan.

Makan Benar

Bulan lalu pola makan saya tidak bagus. Kadang makan terlalu banyak, terkadang sedikit hingga malas makan. Bulan ini saya mencoba makan dengan lebih teratur. Sarapan, makan siang dan makan sore sebelum jam 7 malam. Lebih memilih apa yang dimakan, memakan yang tidak goitrogen. Saya juga mengurangi minum kopi cukup drastis pada bulan ini, namun tetap minum seminggu sekitar dua kali. Saya juga mulai minum Redoxon setiap hari bulan ini, agar cukup vitamin D, C, dan Zinc yang saya butuhkan. Saya beli dalam bentuk effervescent karena menurut pengalaman sebelumnya saya malas minum dalam bentuk tablet atau kapsul. Seru juga lihat vitaminnya bereaksi dalam air. Oh iya, kata teman saya sih Vit D pengaruh dengan mental health juga dan saat saya coba cari di Google, ada artikel yang mendukung itu: https://www.medicalnewstoday.com/articles/325823#vitamin-d.

Olahraga

Sebenarnya saya sudah sering bersepeda dari bulan-bulan lalu, namun biasanya hanya seminggu sekali. Saya akhirnya mencoba olahraga lari karena saya lihat olahraganya murah (tidak perlu alat apa-apa kecuali kalau mau sepatu mahal ya) dan beberapa teman saya terlihat kecanduan berlari XD. Saya sebelumnya sangat malas karena saya merasa saat zaman kuliah kayaknya susah banget bahkan sampai kunang-kunang. Padahal pas masih SD saya termasuk pelari cepat di sekolah, tapi memang dulu masih dipanggil kerempeng sih, wkwk.

Akhirnya saya paksakan dengan mengikuti salah satu lomba virtual run. Harga tiketnya lumayan juga, jadi kalau tidak selesai sayang sekali, karena tidak dapat medali. Awalnya memang saya mengejar medalinya wkwkwkwk. Tapi itu jadi awal saya menjadi semangat lari. Setelah lari mood jadi bagus, Alhamdulillah. Sekarang berlari jadi olahraga yang mau dirutinkan diselingi dengan sepeda dan power walking. Larinya masih campur jalan sih, tapi lama-lama saya kurangi durasi jalannya.

Ikut Komunitas dan Panitia Event

Teman saya menyarankan saya mengikuti kegiatan sukarela atau event agar saya ada kegiatan dengan banyak orang. Kebetulan sekali adik angkatan saya mengajak saya untuk mengikuti komunitas membaca buku tengah malam (jam 10-11 atau 12 malam). Konsepnya yaitu membaca buku bareng secara virtual melalui aplikasi Google Meet. Jadi kita buka kamera sambil membaca buku selama 1 jam dan kemudian diakhiri dengan sharing (bila ada yang mau menyampaikan).

Ada juga sesi diskusi mengenai buku, e.g budgeting dan notes taking. Sesinya ada 3 kali seminggu, jadi saya merasa terbantu sekali karena saya jadi punya waktu khusus dan juga teman untuk membaca buku. Saya juga bisa dapat ilmu-ilmu baru dari buku lain yang orang lain baca. Saya sih sebenarnya tidak kutu buku banget, malah waktu ini saya pakai untuk membaca buku teknikal XD (it’s ok kata ketua geng).

Selain ikut komunitas buku, saya juga mengikuti course suatu bahasa. Berbayar karena saya tahu saya kurang disiplin kalau belajar sendiri wkwk. Jadi ingat Udemy yang masih terbengkalai. Kalau yang ini karena diajari teman sendiri saya juga jadi tidak enak kalau tidak disiplin. Satu kelas ada beberapa orang, jadi saya bisa mengenal teman-teman baru juga dari sana.

Bulan ini kantor sedang ultah dan ada event virtual untuk merayakannya. Saat dibuka registrasi untuk menjadi panitia, saya coba ikut mendaftar. Padahal tahun-tahun sebelumnya kalau ada acara seperti ini saya kurang tertarik untuk menjadi panitia XD. Saya kebagian menjadi pembuat kuis dan operator virtual meeting. Kuisnya tentu saja kuis tebak gambar dong. Senang juga saat teman-teman kantor antusias untuk menebak. Teman-teman saya langsung tahu kalau saya yang buat wkwkk. Saya jadi ingat waktu kecil saya ingin sekali jadi Helmy Yahya karena kuis kuisnya seru-seru menurut saya.

Cuti dan Jalan-jalan

Sebenarnya kantor saya tidak ada cuti bersama di akhir bulan Oktober ini, jadi liburnya hanya di hari Kamis. Namun Mba Wid mengajak saya untuk berlibur menggunakan mobilnya, jadi saya ikut saja dan mengambil cuti selama satu setengah hari. Alhamdulillah bisa melihat pemandangan yang tidak bisa dilihat di Jakarta. Saya juga sempat mengunjungi kosan dan kontrakan lama. Tidak banyak yang berubah kecuali Asrama Bumi Ganesha yang kok tidak kelihatan lagi ya.