Saya dan payung itu bagai dua tokoh protagonis di film bergenre komedi romantis. Saya malas sekali sebenarnya membawa payung karena bawaan tas saya yang biasanya sudah berat namun saya sangat membutuhkannya dan bahkan bahagia saat memakainya. Saya selalu membawa payung ke mana pun walau menambah beban di tas karena sudah menjadi kebiasaan. Jika kamu pernah tinggal di Bogor dan sekitarnya mungkin akan mengerti. Julukan kota hujan untuk Bogor tentu saja bukan cuma hanya sebutan. Kamu harus selalu seperti negara Skandinavia. Swedia payung sebelum hujan *jokes lama*
Sebelum berangkat sekolah, ibu atau ayah saya selalu memastikan anak-anaknya membawa payung. Seingat saya dulu saat masih sekolah di Bogor, hujan selalu turun di sore hari walau bukan musim hujan. Kalau musim hujan, hujan sudah mulai dari pagi saat waktunya berangkat sekolah. Karena saya berangkat sekolah dengan berjalan kaki, hujan turun di pagi hari menjadi tantangan tersendiri. Tas saya yang sudah berat harus ditambah dengan sepatu karena perlu menggunakan sandal agar kaos kaki dan sepatu tidak menjadi basah di pagi hari. Beruntung jika waktu berangkat saya bersama tetangga yang memiliki mobil untuk mengantarkan anaknya ke sekolah/stasiun agar tidak kebasahan, jadi saya bisa nebeng.
Kembali ke payung, saya termasuk anak berbakti karena jarang menghilangkan payung atau merusaknya. Di saat adik-adik saya sering berganti payung, saya biasanya masih memakai payung yang sama hingga payung itu rusak. Rusaknya biasanya karena saya lupa mengeluarkan payung dari dalam tas setelah dipakai, sehingga besi jari-jarinya karatan dan lama-lama patah. Apalagi kalau payungnya yang murah, semakin mudah untuk karatan. Tanda awalnya biasanya gagang payungnya susah untuk ditarik dan kanopinya juga susah untuk dikembangkan. Lama-lama gagangnya tidak bisa ditarik dan jari-jarinya patah. Patah satu atau dua jari-jari masih belum bisa redeem payung baru karena masih bisa dipakai. Gagang kebuka setengah pun masih bisa dipakai tapi jadi kayak sarimin aja paling.
Oh iya, karena tas saya biasanya melebar ke depan karena membawa barang terlalu banyak, saya jadi memiliki kesulitan untuk memakai payung saat hujan tanpa tas saya basah. Tas saya dulu belum anti air seperti tas saya sekarang *kok sombong*, jadi buku-buku di dalamnya basah kalau saya tidak membungkusnya dengan plastik terlebih dahulu. Nah kalau basah jadi ada kerjaan baru, menyetrika buku dan juga menyetrika uang, wkwk. Solusinya sebenarnya tinggal taruh tasnya di depan kan ya, tapi saya tidak terlalu suka karena badan jadi limbung ke depan dan menghalangi penglihatan ke bawah untuk melihat jalan. Jadi ingat, dulu saya jalannya lebih sering menunduk, mungkin karena dulu saya pemalu dan tidak enak kalau tidak menyapa, kalau nunduk kan dikiranya ngga lihat kan hehe. Eh teman saya malah mengira saya berharap menemukan duit di jalan jadi selalu menunduk.
Setelah kuliah, saya masih membawa payung namun frekuensi pemakaiannya menurun drastis. Selain intensitas hujan di Bandung tidak sesering Bogor, saya lebih memilih menunggu hujan reda terlebih dahulu baru pulang. Walau baru berakhir malam hari tidak apa-apa. Berbeda dengan masa-masa sekolah yang ingin cepat-cepat pulang sehingga lebih memilih untuk menerobos hujan. Ingin cepat-cepat pulang karena lapar, haha. Tidak sabar ingin makan masakan ibu di rumah. Selain itu, takut juga naik kereta malam-malam kalau hujannya baru reda malam hari. Sepatu basah ya tinggal masukkin ke belakang kulkas saja biar kering wkwkwk. Setelah bekerja lebih jarang lagi memakai payung. Saya dan Mba Wid pernah menunggu hingga 11 malam di kantor karena hujan baru berhenti jam segitu. Setelah itu naik ojek mobil online karena tidak ada lagi kendaraan umum. Mengapa tidak naik ojek mobil onlinenya saat hujan?