Peduli Dengan Kulit

Saya memiliki kulit berwarna sawo matang, seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Waktu masih kecil, saya tidak tahu nama warna kulit sawo matang itu apa, karena kulit saya lebih gelap dibanding adik saya, jadi saya pikir kulit saya warnanya namanya hitam. Saya dulu sempat iri dengan adik saya yang terlahir (lebih) putih. Namanya juga masih kecil, masih labil. Kalau besar, lebar , haha pun intended. Ibu saya bilang saya terlahir dengan warna gelap dan di masa kehamilan yang tua, jadi ibuku bilang saya itu bayi tua *wkwk*, namun banyak perawat yang senang menggendong saya karena saya tidak rewel kalau digendong orang lain. Saat balita pun saya mau saja, tidak takut dan tidak menangis kalau dibawa orang lain ke mana-mana tanpa orang tua. Sepertinya saya sudah sosialis dari lahir. Eh kok jadi OOT dari masalah kulit.

Saya tinggal di Jakarta saat kecil dan kemudian pindah ke Bojonggede saat umur 7 tahun. Saat sudah bertahun-tahun tinggal di Bojong, tetangga saya bilang saya hitaman. Kontan saya kaget, kulitnya kan sudah hitam dari lahir berarti sekarang lebih hitam lagi dong wkwk. Wajar sih, soalnya saya memang bersekolah lebih banyak siang hari, dan saya selalu jalan kaki lebih dari 1km siang-siang tanpa menggunakan sun block bahkan mungkin pulangnya cuci muka dengan sabun pencuci wajah pun tidak. Ya pasti dekil lah wkwk. Ibu saya sepertinya tahu saya sempat sedih dengan kulit saya yang gelap dan iri dengan kulit adik saya, jadi ibuku sering bilang kalau orang yang hitam itu manis sambil bernyanyi lagu Emilia Contessa yang berjudul Hitam Manis. Bagian lirik yang sering dinyanyikan oleh Ibuku:

Hitam manis…  Hitam manis

Yang hitam manis

Pandang Tak jemu.. Pandang tak jemu..

Yang hitam manis.. Pandang tak jemu

Lirik itulah yang sering diulang-ulang. Kalau bapak saya beda lagi lagunya. Lagu Rita Sugiarto yang judulnya Hitam. Begini penggalan lirik yang sering dinyanyikan:

Hitam.. Orangnya hitam..

Entah mengapa sebabnya

Warna hitam aku suka

Hingga benda yang ku punya

Banyak yang hitam warnanya…

Ya begitulah, lagunya dangdut semua hihihi. Saya baru sadar orang tua saya berusaha keras menghibur saya walaupun saat itu saya tidak merasa terhibur XD. Selain menyanyikan lagu, ibu saya selalu bilang ke saya kalau orang yang kulitnya hitam itu jarang jerawatan. Ibu saya membandingkan kulitnya dengan kulit bapak saya. Kulit ibu saya itu putih, namun rentan jerawatan. Kulit bapak saya (lebih) gelap, dan tidak pernah terlihat berjerawat. Namun saya menyadari ada case yang lain karena om saya tidak kalah gelap kulitny namun jerawatan juga dulunya. Ibu saya pun menambahkan kalau itu karena dulu beliau kurang rajin ibadah,  kalau ibadahnya rajin kan cuci muka minimal 5 kali sehari, jadi ibu saya menasihati saya untuk rajin ibadah. Saya sih percaya saja, kan nasihatnya benar juga harus rajin ibadah. Sekarang saya sudah tahu mengapa kulit orang berjerawat itu karena hormon dan kondisi kulit orang berbeda-beda bukan karena faktor kegelapan kulit XD.

Sekarang sih saya sudah tidak mempermasalahkan warna kulit, yang penting tidak dekil. Setelah banyak membaca dan memerhatikan orang, saya percaya kalau orang yang kulitnya bagus itu karena rajin merawat kulit. Merawat kulit itu tidak harus ke salon dan spa yang mahal, pakai produk yang terjangkau dengan dompet kita saja, yang penting itu rutin dan konsisten memakainya. Memang sih tidak semua produk langsung cocok dengan kulit. Ada trial and error. Saya sarankan untuk mencoba sample dulu sebelum membeli ukuran besar. Kalau tidak ada, coba cari teman yang punya, wkwk. Alhamdulillah saya kebetulan sudah cocok dengan salah satu merek, jadi saya beli produk dengan merek yang sama semua. Saya sih merasa lebih bersih dibanding waktu kuliah dulu XD. Ya memang dulu tidak ada budgetnya sih, walau tetap mencuci muka.

Siapa Berani?

Ada yang masih ingat kuis Siapa Berani? Kuis yang dulu tayang di Indosiar setiap pagi yang pembawa acaranya itu Helmi Yahya. Kalau tidak salah ingat, kuis ini populer saat saya masih SD, saya menontonnya sebelum pergi ke sekolah karena saya sekolah di siang hari. Helmi Yahya dulu termasuk orang yang saya kagumi karena saya suka menonton kuis dan kuis yang dia buat selalu menarik, termasuk kuis Siapa Berani ini. Namanya “Siapa Berani?” karena di dalam kuis untuk mendapat hadiah yang besar maka selain memang bisa jawab karena pengetahuannya bagus, tapi juga berani mengambil risiko untuk mempertaruhkan hadiah yang sudah didapat.

Sebenarnya di hidup juga seperti itu, untuk mendapatkan yang kita inginkan, kita harus berani, berani memutuskan dan mengambil resiko. Sayangnya, saya ini termasuk orang yang default valuenya itu tidak berani. Mencoba memberanikan diri dengan berpikir matang-matang. Banyak hal baru yang saya takuti, tapi tidak langsung saya hindari sih, saya pikirkan dulu apakah ketakutan saya berdasar atau tidak, dan apakah kalau saya memberanikan diri bisa membawa manfaat lebih banyak, hoho. Intinya terlalu banyak yang dipikirkan, padahal mungkin lebih baik langsung dicoba saja.

Dari lahir, banyak hal yang saya takuti, tapi tidak semuanya permanen. Saya dulu pernah takut ondel-ondel, eh sekarang malah excited kalau ketemu. Pernah juga saya takut kalau disuruh ikut lomba 17-an. Ayah saya sempat kesal karena saya tidak mau disuruh ikut lomba memasukkan paku ke dalam botol, eh selanjutnya saya menyesal dan akhirnya malah suka ikut lomba 17-an lainnya seperti ambil koin di buah berlumur oli, balap karung, dan makan kerupuk. Yang paling menarik, saya awalnya takut naik pesawat apalagi duduk di jendela. Alasannya sih wajar sebenarnya, karena takut jatuh dan takut melihat ketinggian saat di udara. Di penerbangan baru-baru ini saya malah senang banget berada di dalam pesawat dan senang melihat pemandangan dari jendela. Yang masih saya takuti dari dulu sampai sekarang adalah kilat, wkwk. Saya belum menemukan cara biar tidak kaget wkwk.

Ketakutan yang paling masih sering muncul dan mengganggu: takut salah. Salah di sini bukan takut merasa bersalah atau melakukan dosa ya, hoho, lebih ke terlalu berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan takut dalam mencoba-coba. Rasa takut salah ini menurutku berbahaya ketika mempelajari sesuatu yang baru yang membutuhkan banyak praktek. Saya sering merasa takut salah saat membuat kode di depan teman pairing. Karena saya takut salah itu, saya menjadi takut kode saya terlalu bodoh dan menjadi terlalu lama berputar-putar dalam pikiran. Padahal kan saya memang baru, harusnya saya mewajarkan diri saya untuk salah dan sebenarnya salah kan tidak apa-apa. Bahkan dengan banyak melakukan kesalahan dan ditegur karena itu, kita jadi banyak mendapatkan pelajaran dan lebih mengingatnya. Saya jadi menyadari kalau yang membuat saya takut salah itu karena saya terlalu memerhatikan tanggapan orang lain, padahal yang penting adalah kita mendapatkan banyak pelajaran. Seperti yang Mba Wid selalu bilang (quotes dari Panji Pragiwasksono), dalam membuat sesuatu pertama kali jangan takut jelek, karena pasti jelek. Karena kita tahu jeleknya dimana, kita bisa memperbaiki kejelekan itu. Lebih berbahaya lagi kalau kita tidak tahu kesalahan dan keburukan kita sendiri itu. Jadi, yang paling penting itu jangan takut untuk mencoba, lakukan berbagai kesalahan, mendapat banyak masukan dari orang lain, dan perbaiki.

Jadi tujuan saya menulis ini sebagai pengingat diri yang sering lupa dan takut salah ini. Supaya kalau takut salah lagi saya membaca blog ini, wkwk. Satu lagi yang saya sering takut mencoba: mencoba produk yang sudah difavoritkan. Kalau saya sudah menemukan makanan yang saya suka di suatu tempat makan, saya cenderung malas mencoba makanan lainnya di tempat tersebut. Kalau belum menemukan yang favorit sih akan selalu mencari, seperti sabun dan odol, kalau itu sih variabel yang menentukan adalah harga, wkwk.

Drama dan Pengalaman Unik di Bengaluru, Part 2

Lupa kalau masih ada hutang cerita satu part lagi tentang Bengaluru. Semakin lama nanti kalau ditunda sudah lupa bagaimana ceritanya. Mari kita lanjutkan saja.

Mencari Nasi Putih

Makanan yang pertama kali saya makan di Bengaluru adalah kebab. Kami membeli kebab hanya satu saat itu karena niatnya hanya mau merecehkan uang yang baru kami ambil di ATM untuk tips supir yang menjemput kami di Bandara. Nama kebabnya adalah House of Kebabs. Letaknya di semacam lapangan di dekat parkiran bandara. Di tokonya ada tulisan Halal dengan huruf Arab dan tulisan “We only serve Halal Meat”. Jadi Alhamdulillah aman. Rasanya enak walau di setiap gigitan rasa bawangnya sangat kuat. Semacam teaser untuk rasa makanan di India.

Makanan berikutnya yang kami makan adalah saat mendapatkan sarapan di hotel. Banyak pilihannya, yang saya ingat adalah ada Dosa, Nasi Biryani, Idli dan Sambar, Vege Sandwich, dan makanan lainnya yang saya tidak ingat namanya. Saya excited untuk mencoba berbagai makanan tersebut. Setelah makan makanan tersebut rasanya sangat nyangkut di lidah. Tiba tiba kangen nasi goreng (baru hari pertama padahal ><). Malamnya, seperti yang pernah saya ceritakan, kami makan di McD, kami mencari nasi putih dan tidak ada. Semua menu sudah disesuaikan dengan cita rasa India. Begitupun makanan-makanan yang disediakan di konferensi dan hotel. Kami pun mencari ke foodcourt mal dekat venue konferensi. Ada yang jual nasi putih benar-benar putih, tetapi harganya mahal sekali. Kami akhirnya menemukan restoran yang menjual makanan Asia lainnya seperti Chinese Food, Mie Goreng Malaysia, Nasi Singapura. Ya rasanya familiar, tetapi bumbunya lebih tajam dari biasanya, dan saya juga kesulitan menghabiskannya. Oh iya porsi di sana banyak. Rasanya seperti dua kali porsi di Indonesia. Setelah 3 hari memakan makanan yang berbumbu banyak (melebihi rendang), saya langsung sariawan dan bawah lidah saya membengkak. Biasanya saya langsung mencari larutan cap kaki tiga atau yang ada badaknya, tetapi tidak ada. Alhamdulillah sarapan di hotel ada yang menyediakan roti dan buah sebagai alternatif makanan sekaligus meringankan rasa sakitnya.

Baru di hotel terakhir saya inapi yang menyediakan nasi putih. Tetap harus beli sih tapi masih affordable dan langsung diantar ke kamar. Kebetulan memang bawa bekal rendang dan dendeng balado. Walau sama sama berbumbu banyak, tetap terasa lebih ringan dibanding makanan India. Sambal balado ftw! Oh iya saat hari terakhir kami sempat mengunjungi KFC di dekat hotel dan tidak ada nasi putih juga. Saya mencoba semacam twister dan rasanya lebih pedas dari biasanya, tapi menurut saya sih enak 😊.

IMG_2595
Minuman yang rasanya unik. Susu seperti santan dan ada bumbu jinten, cabe, dan jahenya.

Belanja Oleh-oleh

Walau sebenarnya belanja oleh-oleh bukanlah suatu keharusan, tapi rasanya sayang saja kalau tidak membawa sesuatu selain kenangan wkwk. Kami mencoba mencari tempat membeli oleh-oleh yang relevan dan dapat dijangkau. Kebetulan di samping hotel terakhir ada mal. Namanya Sapphire Center kalau tidak salah, lokasinya di Yeshwanthpur. Di mal itu ada supermarket dan toko baju. Di supermarket tersebut, banyak permen unik dan coklat import dengan harga lebih murah. Saya membeli permen isi Masala, coklat coklat, ladoo, dan bumbu bumbu instan khas india. Walau sempat trauma, tapi tetap ingin mencoba lagi XD. Yang paling berkesan itu permen isi Masala itu. Bukan permen yang punya problem ya guys, wkwk. Masala itu adalah rempah-rempah. Saat teman-teman di kantor makan permen itu mereka bilang kalau rasanya seperti permen tapi isinya bumbu rendang. Di toko baju dekat supermarket itu sebenarnya mirip Ria Busana di Indonesia menurutku. Teman saya membeli baju dan tas bermotif khas India. Saya sendiri sih tidak beli apa apa di sana karena harganya yang menurut saya tidak terlalu murah.

Selanjutnya kami mencari saree, selendang khas India (Dhupatta), dan gelang gelang gemerincing yang biasanya kami lihat dipakai di film-film. Saat kami cari di google, tempat beli oleh-oleh seperti itu yang terlengkap ada di Commercial Street. Kami pun ke sana naik Uber. Saat sampai dan melihat suasananya kami langsung teringat dengan Pasar Baru di Bandung.

img_2142
Salah satu jalan di area Commercial Street. Ada masjid cukup besar tapi yang ini hanya untuk laki laki

Di Commercial street ini kami membeli kain Saree. Harganya sekitar 650 rupee (sekitar 130rbuan) setelah ditawar. Oh iya enaknya kalau beli di pasar semacam ini bisa ditawar. Kebetulan penjualnya baik dan tahu Indonesia. Kebanyakan di India ini lebih tahu Malaysia dibanding Indonesia. Kami lebih sering disangka orang Malaysia. Selain Saree kami juga membeli Dhupatta. Harganya bervariasi dimulai dari 100 rupee saja (sekitar 20rbu) tanpa ditawar. Teman saya membeli gelang-gelang di Commercial Street juga tapi saya kurang tau harganya karena saya saat itu sedang mencari tempat ibadah dan menemukan masjid seperti pada gambar di atas. Masjidnya cukup besar namun saat saya ke sana, saya diberitahu kalau masjid itu khusus untuk ikhwan. Masjid untuk akhwat ada di gang lain.

IMG_0049
Pelataran Masjid di Commercial Street

Selain di Commercial Street, kami membeli oleh-oleh di Malleshwaram. Saat sampai di sana, saya teringat dengan Pasar Simpang Dago karena memang mirip semacam pasar, di pinggir jalan raya tetapi produk yang dijual lebih beragam. Saya membeli gelang-gelang, harga satu set gelang adalah 100 rupee (sekitar 20ribu rupiah). Karena salah satu teman saya ada yang menitip Mehandi, semacam pacar Arab yang sering dipakai pengantin wanita India di tangannya, kami menelusuri jalan dan setelah bertanya dengan penduduk, akhirnya kami menemukannya di pinggir jalan depan sebuah toko. Selain menjual Mehandi, penjualnya pun menyediakan jasa pemasangan Mehandi tersebut. Harga satu buah Mehandi adalah 10 rupee dan harga pemasangannya 100 rupee per tangan. Hanya teman saya yang akhirnya mencoba memakai Mehandi, saya pernah pakai dan tidak terlalu menyenangkan.

Satu hari di Malleshwaram

 

Mengunjungi Toko Buku di MG Road

Mengunjungi toko buku adalah salah satu tujuan di dalam daftar tempat yang kami ingin kunjungi di Bengaluru. Kabarnya harga buku di India sangat murah, karena pemerintah India membeli lisensinya. Kami diberitahu oleh teman untuk mengunjungi Blossom Book House di Church Street dekat MG Road. Saat sampai di jalan tersebut, kami menemukan toko buku lain, namanya Bookworm. Kami pun masuk dan menghabiskan waktu yang cukup lama di sini karena koleksi bukunya sangat banyak dan harganya yang murah. Saya membeli beberapa buku yang memang sudah lama saya ingin beli sekitar 7 buku dan totalnya hanya sekitar 2400 rupee atau sekitar 480ribu rupiah. Bukunya asli, tapi memang ada tulisan kalau hanya boleh dijual di India. Di sana penjualnya bisa berbahasa Inggris dan senang memberi rekomendasi buku yang bagus untuk dibaca sesuai dengan genre yang disukai.

photo6068983643780524354
Buku yang dibeli di sana. Beberapa direkomendasikan oleh pemilik toko.
IMG_2649
Pelataran BookWorm
IMG_5517
Church Street, mirip Jalan Braga XD

Hal Menarik Lainnya

Hal menarik lainnya yang saya temukan di sana adalah semua toko di sana sudah tidak menyediakan plastik. Saat membeli gelang-gelang saya diberikan kantong kertas untuk membawa gelang tersebut. Di toko buku diberikan kantong kain untuk membawa buku-buku. Di supermarket, jika kami tidak membawa kantong kami perlu membeli totebag untuk membawa belanjaan kami. Saat di tempat makan pun jika kami membeli makanan yang dibawa pulang kami diberikan kantong kertas dan sendok dan garpu kayu sebagai alat makan. Polusi di sana lebih minim dibandingkan jakarta. Saya bisa melihat benda-benda langit dengan jelas. Bis di sana tidak seperti kopaja yang mengeluarkan asap hitam.

Kereta di sana sangat panjang sehingga saat saya memandangi kereta yang lewat saya sampai kebingungan kok belum habis-habis, wkwk. Di sana juga sudah ada MRT, disebutnya metro kalau saya tidak salah, menghubungkan ke berbagai tempat yang menjadi pusat kegiatan. Sebenarnya kami bisa naik metro itu untuk menuju berbagai tempat yang kami kunjungi, tapi kami tidak berani. Mungkin lain kali, hoho.

IMG_2525
Pintu Masuk MRT di MG Road

It’s Not Over Until It’s Over

Saat siang-siang tadi di tengah pusingnya membaca kode, tiba-tiba kepikiran quotes ini:

It’s not over until it’s over

Saya mendengar quotes ini pertama kali saat menonton The Genius, reality game show Korea. Saat itu salah satu pemainnya , Jang Dong Min, sedang mengikuti Death Match (semacam babak penentuan siapa yang dieliminasi) dan saat itu dia terlihat dalam posisi yang sangat sulit dan kesempatan untuk menangnya terlihat sangat kecil. Kalau dilihat, mungkin orang sudah mengira pasti akan kalah dan menyerah, tetapi Dong Min tetap tenang dan fokus. Dia berkata, “It’s Over Until It’s Over”. Dia akhirnya memenangkan babak tersebut dan bertahan ke episode selanjutnya. Tidak hanya itu, Jang Dong Min bahkan memenangkan juara 1 di dua season sekaligus.

Quotes tersebut terngiang-ngiang selalu di pikiran saya setiap saya merasa sulit dan mau menyerah. Inti dari quote itu menurut saya adalah semangat untuk tetap berjuang dan jangan menyerah hingga semuanya memang sudah selesai. Saya tipe yang terlalu banyak memikirkan berbagai macam hal dan kemungkinan sehingga kadang sudah merasa takut duluan dan memikirkan apa yang belum tentu terjadi, yang membuat saya terkadang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan sesuatu. Waktu tugas akhir juga begitu, saya berpikir terlalu sulit sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulai, dan takut salah. Setiap mau bimbingan pun akhirnya menunggu waktu hingga saya benar-benar siap. Sampai akhirnya tertunda begitu lama. Sampai akhirnya saya termasuk golongan yang telat lulus dan saya mulai bertanya dengan diri sendiri apakah saya mampu untuk menyelesaikan ini semua.

Lalu saya juga melihat gambar ini:

Saya pun berpikir kalau saya sudah berjalan sejauh ini dan jarak saya dengan kebebasan kelulusan tinggal sedikit lagi, seperti analogi di gambar di atas, dimana harta berlian tersebut jaraknya tinggal satu-dua kali cangkul saja. Saya tetap harus berjuang sampai titik terakhir. Jangan sampai saya sendiri yang membuat saya berhenti. Karena kesempatan masih ada. It’s not over until its’s over. Alhamdulillah saya lulus walau di rombongan terakhir XD.

Nah, tadi saya juga sempat berpikir apakah menjadi developer bukan jalan terbaik hanya karena saya membutuhkan waktu yang lama untuk memahami barisan kode. Saya pun teringat quotes itu kembali. Hey Ajuul, kamu baru saja memulai! Kamu belum berusaha sekuat tenaga. Jangan berhenti karena pikiran kamu sendiri. Usahalah lebih banyak. Tetap berjalan sampai memang kesempatan tidak ada lagi. It’s not over until it’s over 😀