Dari semua komponen kompetensi Bahasa Inggris: Reading, Listening, Writing dan Speaking, memang Speaking lah yang dari dulu paling buruk. Apalagi kalau harus bicara di depan umum, dengan bahasa Indonesia saja saya masih sering salah. Saat di kampus dulu saya pernah diledek oleh teman saya, di depan cukup banyak orang di lab, kalau saya tidak bisa survive untuk hidup di luar negeri karena bahasa Inggris saya yang mungkin sulit dimengerti (kecuali kalau ditulis). Saat itu kalau tidak salah pas banget saya juga baru ditolak untuk research internship di Jepang dan gagalnya memang saat proses interview. Interview langsung dengan wakil dosen peneliti dari Jepang yang sedang berkunjung di kampus. Saya tidak marah ke teman yang meledek saat itu secara langsung karena dia benar, tapi hati tetap saja kesal.
Saya mengakui saat itu memang jarang berlatih percakapan bahasa Inggris dengan teman, apalagi native speaker. Tapi setelah kejadian itu, saya diberikan banyak kesempatan untuk berlatih berbicara dengan Bahasa Inggris, baik dengan orang Indonesia lainnya ataupun orang asing, baik native speaker maupun bukan.
Program studi saat saya S1 dulu itu memang dekat dengan beberapa universitas di Jepang, sehingga cukup banyak kesempatan untuk research internship ataupun melanjutkan kuliah di sana. Setelah teman-teman saya yang terpilih kembali ke Indonesia, ada beberapa mahasiswa dari Jepang yang juga berkunjung ke kampus saya. Sebenarnya tidak hanya prodi saya sih, tapi ada dari prodi lainnya juga. Saat mahasiswa dari Jepang datang ke kampus, saya berkesempatan untuk ikut menemani dan mengajak jalan-jalan di Bandung bersama teman lainnya. Dari situlah saya pertama kali bicara full Bahasa Inggris dan berusaha agar bisa dimengerti orang asing hahhaha.
Awalnya saya lebih banyak diam. Saya tidak percaya diri sama sekali apalagi setelah diledek (haha tidak boleh menyalahkan begitu ya harusnya). Saya tidak melempar banyak topik, dan membiarkan teman saya saja yang banyak mengajak ngobrol. Namun akhirnya ada momen saya ditinggal sendirian, dan ternyata tidak terlalu parah. Setelah pengalaman pertama itu saya jadi senang menjadi guide wkwk. Saya setuju saja saat ditawari untuk mengajak main keliling Bandung atau mengajak makan bersama (apalagi dibayari kaprodi wkwk). Seru juga jadi punya teman internasional. Tidak semua mahasiswa asing yang datang kemudian berkomunikasi lagi setelah pulang sih, lebih banyak jadi teman di Instagram atau Facebook. Hanya satu yang berkomunikasi lebih lanjut, lewt FB dan Line, menanyakan kabar masing-masing dan mengirimkan foto (bukan foto diri, tapi pemandangan tentunya). Namun setelah setahun berlalu akhirnya lupa juga sih hahaha.
Setelah menjadi guide untuk mahasiswa Jepang, kemampuan Speaking saya sih sebenarnya tidak meningkat tajam juga. Yang meningkat itu kepercayaan dirinya. Saya pikir saya tidak perlu grammar yang sempurna, yang penting lawan bicaranya mengerti. Efeknya terasa saat saya interview kerja dengan Bahasa Inggris di dua perusahaan Jepang. Saya merasa tidak terlalu terbata-bata dibandingkan saat interview research internship yang lalu. Hasilnya sih tetap saja ditolak, karena memang kemampuan teknikalnya yang memang biasa saja dibandingkan teman saya yang lain. Namun masih ada satu hal yang masih belum dipelajari: berbicara di depan umum dengan Bahasa Inggris.