Kemampuan Bahasa Inggris: Interpersonal

Dari semua komponen kompetensi Bahasa Inggris: Reading, Listening, Writing dan Speaking, memang Speaking lah yang dari dulu paling buruk. Apalagi kalau harus bicara di depan umum, dengan bahasa Indonesia saja saya masih sering salah. Saat di kampus dulu saya pernah diledek oleh teman saya, di depan cukup banyak orang di lab, kalau saya tidak bisa survive untuk hidup di luar negeri karena bahasa Inggris saya yang mungkin sulit dimengerti (kecuali kalau ditulis). Saat itu kalau tidak salah pas banget saya juga baru ditolak untuk research internship di Jepang dan gagalnya memang saat proses interview. Interview langsung dengan wakil dosen peneliti dari Jepang yang sedang berkunjung di kampus. Saya tidak marah ke teman yang meledek saat itu secara langsung karena dia benar, tapi hati tetap saja kesal.

Saya mengakui saat itu memang jarang berlatih percakapan bahasa Inggris dengan teman, apalagi native speaker. Tapi setelah kejadian itu, saya diberikan banyak kesempatan untuk berlatih berbicara dengan Bahasa Inggris, baik dengan orang Indonesia lainnya ataupun orang asing, baik native speaker maupun bukan.

Program studi saat saya S1 dulu itu memang dekat dengan beberapa universitas di Jepang, sehingga cukup banyak kesempatan untuk research internship ataupun melanjutkan kuliah di sana. Setelah teman-teman saya yang terpilih kembali ke Indonesia, ada beberapa mahasiswa dari Jepang yang juga berkunjung ke kampus saya. Sebenarnya tidak hanya prodi saya sih, tapi ada dari prodi lainnya juga. Saat mahasiswa dari Jepang datang ke kampus, saya berkesempatan untuk ikut menemani dan mengajak jalan-jalan di Bandung bersama teman lainnya. Dari situlah saya pertama kali bicara full Bahasa Inggris dan berusaha agar bisa dimengerti orang asing hahhaha.

Awalnya saya lebih banyak diam. Saya tidak percaya diri sama sekali apalagi setelah diledek (haha tidak boleh menyalahkan begitu ya harusnya). Saya tidak melempar banyak topik, dan membiarkan teman saya saja yang banyak mengajak ngobrol. Namun akhirnya ada momen saya ditinggal sendirian, dan ternyata tidak terlalu parah. Setelah pengalaman pertama itu saya jadi senang menjadi guide wkwk. Saya setuju saja saat ditawari untuk mengajak main keliling Bandung atau mengajak makan bersama (apalagi dibayari kaprodi wkwk). Seru juga jadi punya teman internasional. Tidak semua mahasiswa asing yang datang kemudian berkomunikasi lagi setelah pulang sih, lebih banyak jadi teman di Instagram atau Facebook. Hanya satu yang berkomunikasi lebih lanjut, lewt FB dan Line, menanyakan kabar masing-masing dan mengirimkan foto (bukan foto diri, tapi pemandangan tentunya). Namun setelah setahun berlalu akhirnya lupa juga sih hahaha.

Setelah menjadi guide untuk mahasiswa Jepang, kemampuan Speaking saya sih sebenarnya tidak meningkat tajam juga. Yang meningkat itu kepercayaan dirinya. Saya pikir saya tidak perlu grammar yang sempurna, yang penting lawan bicaranya mengerti. Efeknya terasa saat saya interview kerja dengan Bahasa Inggris di dua perusahaan Jepang. Saya merasa tidak terlalu terbata-bata dibandingkan saat interview research internship yang lalu. Hasilnya sih tetap saja ditolak, karena memang kemampuan teknikalnya yang memang biasa saja dibandingkan teman saya yang lain. Namun masih ada satu hal yang masih belum dipelajari: berbicara di depan umum dengan Bahasa Inggris.

September Mis(t)ery: Operasi Bukan Perjuangan Terakhir

Saya menemukan fakta lain saat bertemu psikiater. Saya baru ingat kalau ada bagian dari diri saya yang sudah hilang. Bagian tersebut sangat berarti untuk saya karena berperan penting untuk:

  • Melakukan kontrol terhadap proses pembakaran kalori yang dilakukan oleh tubuh.
  • Mengontrol kecepatan pengolahan makanan dalam sistem pencernaan.
  • Membantu mengatur irama detak jantung dan tekanan darah.
  • Menaikkan atau menurunkan suhu tubuh.
  • Mengontrol kecepatan tubuh dalam melakukan reproduksi sel.
  • Membantu pertumbuhan pada anak-anak
  • Mengoptimalkan pertumbuhan otak, terutama pada anak-anak.
  • Mengaktifkan sistem saraf untuk meningkatkan daya fokus dan kecepatan refleks tubuh.

Saya sudah tidak memiliki kelenjar tiroid. Ya, saya menjalani operasi thyroidectomy bulan Juli lalu yang membuat saya otomatis menjadi hipotiroid. Saya sebelumnya tidak menyadari akan ada perubahan berarti di tubuh saya. Dokter saya tidak banyak menjelaskan pengaruh kondisi hipotiroid pada tubuh. Saya hanya perlu rutin meminum Levothyroxine sebagai pengganti kelenjar tiroid yang hilang. Tidak ada pantangan apapun. Saya masih bisa beraktivitas seperti sebelumnya.

Awal-awal setelah operasi memang saya tidak merasakan ada yang berbeda dari sebelumnya selain lebih baik karena tidak sering sakit kepala dan demam lagi. Namun pada bulan bulan berikutnya saya merasa sering lemas. Keluhan keluhan yang saya sampaikan di pos sebelumnya. Setelah mengetahui fakta dari psikiater tersebut saya kemudian banyak membaca mengenai hipotiroid, mengikuti komunitas sesama pejuang gangguan tiroid di profil Instagram Pita Tosca, dan menonton video-video edukasi di kanal Youtube Pita Tosca.

Saya membaca dan menonton keluhan-keluhan dari sesama penderita hipotiroid. Ternyata hampir sama dengan saya: lemas di pagi hari, berat badan mudah naik, brain fog dan juga terkena mood swing yang dapat mengakibatkan depresi. Saya perlu aware dengan perubahan suasana hati yang sangat cepat dan berjuang untuk tidak terjebak di dalamnya. Stop berpikir negatif dan alihkan ke hal yang disuka. Kalau susah dilakukan sendiri, langsung melambaikan tangan ke teman – teman, no more diem diem aja dipendam sendiri. Boleh malas, tapi dibatasi. Strategi manajemen stress lengkapnya bisa ditonton di sini:

Saya juga perlu lebih memerhatikan apa yang saya makan. Ternyata ada makanan dan minuman yang mempengaruhi penyerapan hormon tiroid. Lengkapnya ada di halaman berikut: https://www.healthline.com/nutrition/hypothyroidism-diet. Saya tidak bisa meminum kopi sesering dulu. Karena makan sedikit saja berat badan mudah naik, saya perlu olahraga lebih rutin. Berlari dan bersepeda. Sayangnya saya tidak punya kolam renang sendiri jadi tidak bisa berenang di masa pandemi ini. Biar bisa ikut triathlon (gaya bangeeet)

Intinya sih, kesehatan fisik berkaitan juga dengan kesehatan mental. Men sana in corpore sano. Perlu mengenali kondisi diri sendiri. Kalau sekiranya ada kondisi mental bermasalah, segera mencari bantuan. Mungkin saja ada masalah dengan kondisi fisik. Jangan sampai sudah terlalu parah. Psikiater mahal juga FYI. Semangat berjuang!

September Mis(t)ery

Bagi Vina Panduwinata, bulan September adalah bulan yang membahagiakan. Berbanding terbalik dengan saya. Di bulan September ini saya seperti habis bertemu dementor dari kisah Harry Potter. Bagi yang tidak tahu, dementor menghisap segala kenangan kegembiraan dan kebahagiaan seseorang hingga tinggal segala kesedihan dan ketakutan yang tinggal di kepala. Kesedihan dan kekecewaan yang ditumpuk beberapa bulan ini seperti meledak di bulan September ini.

Suasana hati saya cepat sekali berubah Menangis sudah seperti rutinitas. Tidak percaya diri dan tidak bisa berpikir positif, atau berpikir sama sekali. Moodswing. Pelupa. Skip hal-hal penting. Puncaknya, saya cuti beberapa hari padahal tidak kemana-mana. Saya tidak bersosialisasi beberapa hari itu, tidak membuka media sosial ataupun membalas pesan yang masuk. Ibu penjaga kosan sampai bertanya kemana saja saya, padahal ya di kamar itu saja. Mungkin karena saya tidak terlihat ada di dapur lagi atau memang biasanya saya berisik kali ya, jadi aneh kalau tiba-tiba kosan sepi. Saya mencoba menenangkan diri alias banyak tidur. Biasanya segala rasa sedih atau kesal langsung hilang setiap bangun tidur. Ternyata tidak berhasil. Membaca Al-Quran membuat saya tenang, namun tetap menangis. Di saat bekerja pun tiba-tiba menangis. Saya pun memutuskan untuk menemui psikiater.

Sebelum ke psikiater saya sudah konsultasi ke psikolog secara daring. Mungkin karena tidak secara langsung jadi agak sulit menjelaskan masalahnya sehingga saran dari psikolog itu kurang manjur. Memang sih emosi tidak boleh ditahan, tetapi ini seperti tidak habis-habis. Saya tidak semangat melakukan hal-hal yang biasanya saya sukai. Saya berpikir sepertinya ada hal lain yang mengganggu dan saya akhirnya pergi ke psikiater untuk mencari tahu.

Bulan Bahasa dan Sastra

Karena bulan ini adalah bulan Bahasa dan Sastra Indonesia, marilah kita menulis lagi, walau tulisan saya ini belum memiliki keindahan yang bisa digolongkan sebagai sastra, wkwk. Setidaknya pakai bahasa Indonesia kan ya.

Bulan ini saya akan membahas buku bahasa Indonesia yang saya baca, tidak terbatas dari penulis Indonesia karena buku Bahasa Indonesia yang ada di kosan sedikit. Bukannya sok bahasa asing, tapi saya memang beli buku berbahasa Inggris itu agar terbiasa membaca bahasa Inggris saja. Kebanyakan dari itu juga yang saya beli saat di India karena harganya yang lebih murah. Buku bahasa Indonesia yang saya punya di kosan kebanyakan pemberian teman. Apalagi buku puisi, teman dekat saya yang membaca blog ini mungkin tertawa, sejak kapan si Ajul baca puisi apalagi sampai punya bukunya. Mumpung bulan bahasa, saya akan coba baca bukunya wkkwkw.

Target buku bulan ini

Oh iya, saya tidak pandai menceritakan kembali suatu cerita, apalagi mereviewnya, jadi ini bisa menjadi latihan bagi saya juga. Kecepatan membaca saya juga lambat. Jadi satu bulan ini saya rasa cuma bisa maksimal 3 buku. Semenjak kuliah saya tidak terlalu banyak membaca buku, jadi teman kuliah saya pasti heran kalau saya membaca buku. Tapi saat sekolah karena hiburan saya cuma itu, mau tidak mau jadi membaca buku. Buku yang saya baca saat sekolah adalah buku fiksi. Saat SMP kan zaman-zamannya membaca novel Indonesia lama seperti Dian yang tak Kunjung Padam, Salah Asuhan dan Siti Nurbaya. Kemudian membaca teenlit seperti Dealova, Fairish, dkk. Saat SMA berpindah ke Dewi Lestari dan JK Rowling, membaca semua seri Supernova dan Harry Potter. Setelah lulus SMA saya belum membaca buku Dewi Lestari lagi. Anehnya waktu kuliah dan setelahnya lebih suka membaca buku pengembangan diri, tapi Saya malah merasa lebih berkembang saat sekolah wkwkwk.

Death

Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya kematian akan datang, bahkan untuk yang mencoba untuk memaksakannya untuk datang. Tidak pasti orang yang lebih tua yang akan mengalaminya terlebih dahulu atau orang yang sedang sakit keras belum tentu akan mendapatkan kematiannya duluan. Anak-anak muda yang terlihat sehat bisa saja sudah tiada. Caranya bisa dengan berbagai macam, bisa dengan kecelakaan, bencana, serangan jantung atau salah meminum obat.

Saat umur sekolah, saya sangat takut akan kematian yang datang tiba-tiba karena ada keluarga dan beberapa teman yang dipanggil terlebih dahulu secara mendadak. Semuanya masih muda dan umurnya tidak terlalu jauh dari saya saat itu. Saya dulu memiliki tetangga yang mengidap kanker mata. Umurnya lebih muda dari saya saat itu, sekitar 4-5 tahun mungkin, saya tidak tahu tepatnya. Saya kaget saat rumah saya diketuk di malam hari, tetangga saya yang lain mengabarkan kabar duka bahwa tetangga saya itu meninggal dunia. Dan ternyata, bukan karena sakit kankernya itu yang menyebabkan kematiannya melainkan karena tersedak saat minum obat.

Saya juga memiliki tetangga yang umurnya lebih tua dari saya dua tahun. Teman saya main bareng saat masih kecil. Almarhumah baik sekali dan tidak sombong walau kaya raya, dia selalu mengajak saya main ke rumahnya dan memainkan mainannya yang bagus. Saya menganggapnya sebagai kakak saya, karena saya tidak punya kakak. Tibalah suatu saat, masa-masa saya harus mendaftar sekolah ke SMP. Saya masih ingat dia menelepon pada sore hari memberikan saya saran untuk mendaftar sekolah ke SMP yang sama dengan dia. Dia masih terdengar sehar, saya tidak menyangka malam harinya tetangga saya mengetuk rumah lagi mengabarkan kabar duka. Teman saya itu meninggal dunia karena kejang yang diakibatkan salah minum obat: beliau minum panadol dan obat batuk sekaligus.

Selain tetangga saya yang saya sudah anggap kakak tersebut, saya juga memiliki teman lain yang dekat sejak saya masih kecil. Dia seumuran dengan saya, lebih tua beberapa bulan saja. Rumahnya di belakang rumah saya, satu RT dengan saya. Teman bersepeda kapanpun, yang pernah saya ceritakan di tulisan lama kalau saya berjualan juga dengannya. Saya dengannya memiliki beberapa kesamaan. Ayah saya dan ayahnya sama sama berasal dari pulau Sumatera. Rumah neneknya dekat dengan rumah nenek saya di Bandung. Kami pernah berencana untuk bersekolah atau berkuliah di Bandung. Sayangnya saat awal SMA, saya mendapatkan kabar duka lainnya. Saya masih ingat guru mengaji kami berdua berlari menuju rumah saya dan berteriak memanggil saya di pagar. Dia meninggal dunia karena penyakit maagnya, terlalu terlambat untuk dibawa ke rumah sakit. Selain teman saya tersebut, beberapa bulan sebelumnya ada tetangga yang meninggal dunia karena maag kronis juga.

Kematian lainnya yang mendadak yang pernah saya lihat adalah saat SMA, saya sedang menunggu kereta di peron di stasiun. Saya sedang menunggu kereta dan tiba-tiba kereta datang. Saya melihat ke arah rel dan tiba-tiba ada ibu hamil bersama lelaki yang sedang menyebrang. Lelaki tersebut beruntung bisa selamat karena dia bisa berjalan dengan mudah. Sayangnya, ibu hamil tersebut terserempet dan terlempar ke dinding stasiun, meninggal dunia saat itu juga. Saya saat itu terdiam. Saya melihat kematian mendadak di depan saya.

Dari kejadian-kejadian tersebut, saya merasakan kematian bisa datang kapanpun, di manapun, dan pada siapapun. Tidak membuat saya lebih berani, tapi lebih menghargai kehidupan. Saya berpikir bahwa saya masih diizinkan hidup hingga hari ini pasti ada alasannya. Setiap saya merasa down dan sangat sedih, saya tidak ingin mengakhiri kehidupan saya oleh saya sendiri. Bukan hanya karena hal tersebut dibenci oleh Allah SWT, saya juga merasa bahwa saya sangat beruntung masih diberi kesempatan hidup untuk meraih cita-cita saya dan kesempatan untuk mencari pahala lebih banyak. Sesuatu yang diinginkan oleh teman-teman saya yang telah pergi tersebut, dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya. Setiap saya bertemu dengan keluarga mereka (terutama ibunya), saya selalu mengingatkan dia kepada anaknya. Mungkin kalau masih hidup, dia akan sebesar ini juga, melakukan hal ini, dll. Tidak terbayang betapa kecewanya mereka (apalagi keluarga saya tentunya) kalau saya malah tidak ingin hidup. Saat saya merasa tidak memiliki tujuan untuk tetap hidup, saya selalu mengingat hal ini. Stay Alive.

178 Hari

Sudah hampir 6 bulan berlalu semenjak kantor memutuskan untuk bekerja dari rumah (WFH). Saat itu Jakarta belum menerapkan PSBB sama sekali dan hingga PSBB transisi ke new normal pun masih diberlakukan bekerja dari rumah. Saat PSBB diperlonggar, kantor mengizinkan untuk bekerja di kantor dengan minta izin terlebih dahulu dan tentu jika masih melebihi kapasitas maksimal yang diperbolehkan. Saya menggunakan kesempatan itu sekitar tiga kali karena ada keperluan dan saya sangat senang bisa bertemu beberapa kolega walaupun tetap tidak bisa pair programming.

Pada awal WFH saya tidak menyangka akan berlangsung selama ini, bahkan hingga PSBB ketat diberlakukan kembali. Enam bulan ini terasa lama sekali. Sudah banyak hal yang terlewati. Seperti yang pernah saya ceritakan di pos sebelumnya, saya sempat demam tinggi beberapa hari karena tipes. Saya merasa kejadian itu sudah lama sekali, padahal terjadi pada tahun ini juga, di bulan Maret.

Awalnya saya hanya mengenal dua teman di kosan yang juga teman kantor. Kini saya sudah mengenali hampir semua penghuni kosan. Beberapa menjadi kenal karena hubungan bisnis, alias partner patungan wifi agar harganya lebih terjangkau. Beberapa menjadi lebih dekat karena menjadi partner ke pasar dan masak bersama. Ada juga yang kenal berawal karena meminjam pompa sepeda. Dari perkenalan-perkenalan itu, jadilah sebuah grup kosan di suatu platform media sosial. Sekarang kalau ada kelebihan makanan atau ingin beli makanan/minuman bersama agar lebih murah jadi lebih mudah. Jika ada butuh sesuatu di kosan tinggal tanya di grup.

Setelah dua tahun di kosan, baru saat WFH ini saya menggunakan rooftop kosan (gaya bener). Kosan saya cukup tinggi jika dibandingkan dengan rumah-rumah di sebelahnya sehingga bisa melihat cukup jauh, tapi tidak sampai melihat monas juga sih. Lumayan untuk hiburan di kosan saja. Kami pun bisa memesan makanan dari atas alias memakai katrol untuk mengangkut makanan dari bawah, haha. Trik yang digunakan oleh Mba Kosan untuk mengambil paket dari bawah.

Pada saat awal PSBB diadakan, saya cukup khawatir dengan persediaan makanan sehingga saya menyetok cukup banyak makanan (mayoritas makanan instan). Gang kosan pun diportal dan dijaga oleh satpam. Pengantar gofood pun tidak boleh masuk sehingga harus di jemput di depan gang, sehingga saya pikir saya harus menyetok makanan karena takut tidak bisa membeli makanan. Mungkin karena pertama kali menghapi situasi seperti ini sehingga saya menjadi panic buying. Stok makanan tersebut bahkan masih ada hingga saya menjalani operasi pada bulan lalu. Kalau sekarang sih sudah merasa cukup tenang, asalkan sudah menyimpan beras dan telur saja. Kalau tukang sayur lewat, beli ayam seekor, dibumbu kuning saja dan simpan di kulkas, bisa buat seminggu. Sayur sih yang saya agak susah, karena tidak bisa disimpan lama. Mungkin harus ikutan mba kosan menanam sayur di atas.

Saya penasaran apakah tanggal 14 nanti bersepeda masih dibolehkan. Seingat saya sih jalan sepeda baru dibuka saat PSBB transisi. Kalau tidak diperbolehkan berarti saya harus mencari cabang olahraga lain, wkwk. Saya butuh berolahraga karena anjuran dokter dan juga agar timbangan tetap stabil. Setelah operasi, Alhamdulillah nafsu makan meningkat drastis jadi saya makan banyak sekali. Kalau tidak berolahraga pasti sudah kembali ke angka timbangan tahun lalu, wkwkwk.

Dilihat dari perkembangan kasus Corona di Indonesia khususnya di Jakarta sampai hari ini memang sebaiknya tidak kemana-mana dulu. Saatnya melanjutkan misi produktif yang tidak tercapai juga saat 178 hari kemarin. Saya pikir masih sehat jasmani dan mental hingga hari ini saya sudah bersyukur, hehe. Semoga selanjutnya tetap diberi kesehatan, kelancaran dalam urusan, dan kecukupan rezeki, aamiin.

Takut

Saya masih ingat saat ikut pagelaran tari di Taman Mini 23 tahun yang lalu. Saya menarikan Dindin Badindin bersama teman-teman TK saat itu. Yang teringat bukan detil tariannya, tapi kejadian setelahnya. Saya menangis karena diajak naik gondola (kereta gantung, bukan Gundala loh) oleh ayah saya. Saya menangis ketakutan padahal belum juga diajak sampai atas sedangkan adik saya sangat senang dan tidak sabar ingin naik. Akhirnya ayah saya hanya naik berdua dengan adik saya.

Saya memang memiliki banyak ketakutan saat masih kecil. Mungkin sama seperti anak-anak lainnya, saya takut dengan ondel-ondel atau boneka besar bergoyang lainnya dengan musik keras. Saya juga pernah takut dengan cahaya seperti kilat. Saya pernah menutup gorden saat siang hari, takut-takut tiba-tiba kilat dan petir menyambar. Saya juga tidak suka dipotret, karena kamera yang dimiliki saat itu selalu ada lampu blitz-nya saat memotret. Saya masih tertawa saat melihat foto masa kecil saya yang takut difoto tapi masih saja dipotret oleh ayah saya. Kok bisa ya takut dipotret. Orang tua saya sebenarnya heran dengan saya yang terlalu takut dengan banyak hal. Bahkan disuruh ikut lomba 17-an saya tidak mau. Namun anehnya saya tidak takut untuk pergi bersama orang lain (selain ayah dan ibu saya). Saya mau digendong oleh siapa saja dan tidak menangis jika diajak pergi oleh orang lain (ini berbahaya sebenarnya). Saya memang jago SKSD dari dulu.

Rasa takut banyak hal berangsur hilang saat saya masuk SD, terlebih lagi saat saya pindah dari Jakarta ke Bojonggede. Sepertinya sih tuntutan karir eh edukasi. Saya jalan kaki dari rumah ke sekolah kurang lebih 1,2 km dan sendirian. Saya akan sulit bersekolah jika masih takut dengan hal-hal itu. Apalagi di Bojonggede petirnya besar sekali. Tidak seperti di Jakarta atau Bandung. Mati lampu sering sekali karena hujan besar dan petir jadi dulu tidak ada tuh namanya menunda-nunda tugas. Keburu mati lampu. Alhamdulillah jadi rajin.

Saya pun tidak takut lagi untuk mengikuti perlombaan. Malah jadi suka banget. Lomba 17an dari lomba masukkin benang, kelereng, cerdas cermat, balap karung sampai ambil koin di buah penuh oli pun saya pernah dan sebagian besarnya saya menang (sombong kali). Sayang saja saya tidak boleh ikut panjat pinang karena memang tidak bisa, hihi.

Memang sih rasa takut itu bisa dihilangkan kalau terpaksa XD. Adapt or Die. Saya pernah takut naik pesawat terbang. Kebetulan sekali saya memang jarang kemana-mana yang membutuhkan pesawat sehingga saya baru naik pesawat 2 tahun lalu. Saya takut karena sering melihat berita-berita mengenai kecelakaan pesawat. Saya perlu hadir ke pernikahan teman saya saat itu dan saya deg-degan mendekati jam terbang (dicampur excited juga bisa menginap di bandara XD). Teman saya menenangkan dengan memberikan fakta bahwa pesawat adalah moda transportasi yang paling aman dengan angka kecelakaan paling kecil. Namun teman saya suka dengan keseimbangan, dia menambahkan lagi: tapi kalau ada kecelakaan langsung fatal. Alhamdulillah Akhirnya saya tidak takut lagi setelah melakukan penerbangan pertama. Kalau masih takut, mana bisa saya sampai ke India XD.

Bukan berarti sekarang saya bebas rasa takut ya. Saya masih sering takut dengan hal yang saya belum pernah coba, namun saya akan berusaha untuk mengatasinya dengan mencobanya terlebih dahulu (if it’s worth doing). Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya masih takut untuk naik sepeda ke jalan raya yang tidak ada jalur sepedanya. Saya akhirnya mencobanya dengan mengajak teman saya juga yang sama-sama belum pernah ke jalan raya, bahkan dia baru lancar naik sepeda. Akhirnya kami bisa menjelajahi jalanan ibukota dan juga sudah berani naik jalan layang (di pinggir tapi), ikut berbelok dengan kendaraan lainnya di Bundaran HI setelah sebelumnya cuma bisa ikut nyebrang bersama pejalan kaki wkwkwk. Sekarang sih baru sampai Kota tua dan Tanjung Duren. Selanjutnya semoga bisa lihat pantai, aamiin.

Rasa takut untuk dikalahkan selanjutnya: tinggal di tempat yang tidak terlalu familiar (di luar Jabodetabek dan Bandung). Saya masih ragu untuk jauh dari keluarga. Sekarang mencoba tinggal mandiri di kosan, tapi hati masih tenang karena Bogor masih bisa ditempuh dengan 1 jam perjalanan. Ya nanti kalau memang harus tinggal jauh dari keluarga berarti harus beradaptasi. Rasa takut tidak membawamu kemana-mana (kecuali takut kepada Allah SWT)

P.S: Tinggal di Setiabudi kalau takut sama anjing dan ondel-ondel, hidup tidak akan tenteram karena ada dimana-mana.