Gedung Pena

Saya teringat bahwa saya bukan orang baru di Jakarta. Saya lahir di Bandung, melewati sebagian masa kecil di Jakarta (7 tahun), besar di Bojonggede (10 tahun), kuliah dan magang di Bandung (7 tahun, bercampur di Jakarta juga sih karena sempat k̶a̶b̶u̶r̶ kerja dulu sebelum lulus), lalu kerja di Jakarta kembali 3 tahun ini hingga waktu yang belum ditentukan. Jadi ketahuan kan umur saya berapa, wkwk.

Saya sempat tinggal di Slipi, Jakarta Barat, tepatnya di sekitar belakang gedung Wisma 77. Saya tidak ingat ada gedung besar di sekitar rumah saya, wkwk. Sebenarnya saya tidak mengingat banyak hal mengenai masa kecil saya di Jakarta. Mungkin karena sudah lama. Saat kerusuhan 1998 yang terjadi dekat rumah pun saya tidak ingat. Namun ada beberapa hal yang berkesan yang masih saya ingat hingga sekarang.

TK Aisyiyah 51

Saya lebih ingat masa-masa saat saya TK dibanding saat saya SD di Jakarta. TK Aisyiyah ini adalah TK kedua saya. Saya dipindahkan ke TK ini oleh orang tua saya karena di TK pertama saya tidak disukai oleh ibu-ibu murid lain, bahkan oleh guru saya sendiri. Ibu saya bilang kalau saya suka mengejar-ngejar teman-teman saya, bahkan membuat mereka menangis. Jika saya ketinggalan baris berbaris pada pagi hari, saya akan merengek meminta guru saya untuk berbaris kembali. Saya juga pernah mengigit tangan guru saya. Ibu saya sempat mendengar guru saya tersebut meminta teman-teman saya menjauhi saya. Ibu saya kontan sakit hati dan memindahkan saya ke TK Aisyiyah. Di TK baru ini, saya tidak berprilaku yang sama, bahkan lebih banyak teman. Kuncinya: lebih banyak permainan dan kegiatan. Jadi, bukan saya yang jahat, tetapi TK nya saja tidak dapat memenuhi kebutuhan saya, wkwkwkkw. Nah, kalau nanti ada anak yang nakal, jangan langsung pikir kalau anaknya nakal, mungkin ada hal lain yang dia butuhkan. Saya masih mengingat permainan yang saya suka, bahkan saya ingat saat saya jatuh dari komidi putar yang ada di TK tersebut. Dahi saya langsung benjol kanan kiri soalnya, wkwk.

Soda Gembira

download
Soda Gembira

Ada yang tidak tahu soda gembira? Minuman campuran dari soda dan pemanis, biasanya sih sirup dan susu. Saat pertama kali membaca tulisannya di warung dekat rumah, saya kira itu minuman ajaib yang bisa membuat kita bahagia dengan instan. Saat saya bertanya ke ibu saya, saya tidak boleh minum itu karena bikin batuk. Saya waktu kecil memang rentan batuk soalnya. Saat sudah besar seperti sekarang, saya jarang membelinya, karena saya tidak terlalu suka soda dan juga tidak membuat bahagia dengan instan, wkwk.

Pengajian bersama Bu Eti

Bersama dengan tetangga-tetangga lain, saya ikut belajar membaca Al-Quran di rumah tetangga saya, yang bernama Bu Eti. Ibunya galak, hehe. Saya diajari membaca huruf hijaiyah dan tajwid. Saat sudah selesai Iqro, saya diminta untuk melanjutkan ke membaca Al Quran, namun saya tidak mau. Saat itu saya merasa takut sekali salah membacanya. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran saya saat itu. Saya meminta mengulang Iqro sekali lagi. XD. Akhirnya saya mengulang Iqro lagi saat pindah ke TPA di masjid dekat rumah, wkwk.

RS Pelni

Sebenarnya, saya jarang ke rumah sakit karena ada klinik terdekat di dekat rumah jika memang harus ke dokter. Suatu hari saya memiliki masalah dengan telinga sehingga perlu ke dokter spesialis THT dan hanya ada di rumah sakit. Rumah sakit terdekat di rumah saya saat itu adalah RS Pelni. Seingat saya, saya berobat ke sana hanya sekali, dan itu saat saya berumur 5 tahun.

pelni
Rumah sakit PELNI. Sumber: https://www.ayobandung.com/read/2019/09/26/64992/24-mahasiwa-dan-pelajar-korban-demo-ditangani-rs-pelni

Seminggu lalu, saya kembali ke RS Pelni lagi karena perlu berkonsultasi dengan dokter yang hanya berkerja di RS tersebut. Saat mendaftar di bagian registrasi, saya ditanya apa pernah berobat di RS ini. Saya tidak yakin data saya masih tersimpan karena sudah sekitar 22 tahun yang lalu. Saya tidak yakin apakah saat data saat itu sudah terkomputerisasi atau migrasi datanya berjalan baik. Saat tanggal lahir saya dicari di database, ternyata data saya masih ada. Saya terharu, wkwk. Saya senang saya kembali ke rumah sakit ini, dan rumah sakit ini telah menjadi bagian dari kehidupan saya, di masa lalu dan di masa depan *haha lebay*.

Gedung Pena

Orang tua saya masih mengontrak saat masih di Jakarta. Keluarga saya berpindah-pindah kontrakan namun masih di daerah yang sama. Hanya berbeda jalan atau RT. Rumah terakhir sebelum saya berpindah ke Bojonggede memiliki dua lantai. Saya senang melihat pemandangan dari sana. Saya senang melihat pemandangan gedung-gedung dari atas. Satu gedung yang menarik saya adalah gedung yang berbentuk seperti pena yang ujungnya tajam dan berwarna biru. Saya bertanya kepada orang tua saya, namun orang tua saya saat itu tidak tahu namanya. Saya penasaran namun saya tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Dahulu saya belum punya akses untuk mencarinya di Mbah Google. Telepon genggam saja tidak ada. Adanya pager atau faksimili.

b8551902eee9261c12eddd07d08e1ad7
Wisma 46

Saya sempat terlupa dengan gedung tersebut saat pindah ke Bojonggede. Saat bekerja di Jakarta, tepatnya di Kuningan, saya naik kereta jurusan Bogor – Tanah Abang dan turun di Stasiun Sudirman. Gedung yang selama ini saya penasaran apa namanya ternyata ada di depan stasiun dan saya bisa melihatnya sangat dekat. Nama gedungnya adalah Wisma BNI 46. Akhirnya pertanyaan saya selama ini terjawab, wkwk. Sekarang saya bisa melihatnya hampir setiap hari lagi, bahkan lebih dekat, karena kosan saya dekat dari stasiun Sudirman.

Peran Kegagalan Pada Kesehatan Mental

Terlihat seperti judul tugas akhir bukan? wkwk. Mari kita mulai bahas dari latar belakang. Seminggu kemarin saya merasakan ada yang salah dari diri saya. Saya merasa saya tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik. Saya merasa ingin menyerah saja. Saya memandang rendah diri saya sendiri, berpikir tidak akan bisa melewati semua masalah yang sedang dihadapi. Saya merasa gagal di semua aspek. Padahal kalau direnungkan lagi sebenarnya dipicu dari hal yang sepele, tapi mungkin belum sepenuhnya healing dari masalah-masalah sebelumnya, jadi menumpuk dan meledak.

Saya menjadi super sensitif padahal tidak sedang masa PMS. Saya sempat sengaja pulang kantor lebih cepat dari teman-teman kosan saya karena sedang ingin pulang sendiri (terlihat wajar bagi sebagian orang, tapi saya lebih suka pulang bersama-sama). Saya ingin menangis di jalan dan langsung tidur sampai di kosan. Akhirnya saya tahan juga sih, saya masih merasa malu nangis di MRT wkwk. Sesampai di kosan, saya tidur hingga keesokan harinya. Tidur itu memang seperti tombol reset bagi saya. Emosi saya bisa benar-benar teredam setelah tidur. Saya bisa lupa dengan perasaan marah saya dan mood yang jelek. Saya pikir saya akan baik-baik saja setelahnya. Namun perasaan negatif saya kembali datang lagi. Saya tidak bersemangat, pesimis dan puncaknya saat hari Sabtu kemarin. Saya dan teman saya kembali mencoba donor darah. Saya sedikit yakin karena saya sudah minum sangobion berturut-turut dari beberapa hari sebelumnya, wkwk. Saya juga sudah merasa masak dan makan makanan yang bergizi, seperti ikan dan daging yang belum pernah ada di menu masakan sebelumnya wkwkk. Saat cek Hb, saya kembali ditolak dengan jumlah Hb yang menurun dibanding minggu sebelumnya.

Perjalanan pulang dari PMI terasa sangat menyedihkan. Saya kecewa, tapi saya juga tidak tahu mau kecewa sama siapa, karena saya merasa sudah berusaha. Saya menjadi menangis dan merenungi nasib hanya karena gagal donor darah. Saya mencoba tidur terlebih dahulu untuk menenangkan diri. Selepas tidur perasaan saya tidak terlalu membaik. Saya mencoba membuka sosial media. Melihat beberapa postingan teman, saya malah tambah sedih. Akhirnya saya deaktivasi beberapa sosial media saya yang bisa dideaktivasi seperti fb, twitter, dan instagram yang hanya bertahan sehari.

Saya akhirnya menghabiskan banyak waktu dengan tidur. Saya mencoba mempercepat waktu. Saya pikir saya perlu ke psikolog di kantor, namun jadwalnya masih minggu depan. Saat melihat daftar e-book di hp saya, saya teringat bahwa saya memiliki satu buku yang relevan dengan permasalahan saya sekarang. Judul bukunya adalah Emotional First Aid: Practical Strategies for Treating Failure, Rejection, Guilt, and Other Psychological Injuries. Buku ini ditulis oleh Guy Winch, psikolog berlisensi di New York.

Guy WInch.jpeg

Isinya mengenai penjelasan efek samping dari beberapa masalah yang kita temui sehari-hari yang dapat memberikan efek psikologis kepada manusia. Tidak hanya menjelaskan mengenai efek sampingnya, tapi juga strategi treatment yang dapat dijadikan pertolongan pertama untuk mengurangi dampak psikologis yang ditimbulkan. Sama seperti dengan luka fisik, luka mental juga diperlukan pertolongan pertama agar tidak memberikan efek psikologi lebih dalam jika tidak ditangani dengan cepat. Saya sempat menonton video TED yang dia berikan (kalau mau nonton bisa lihat di link ini). Setelah menonton itu, saya jadi paham kalau kesehatan mental itu perlu di-treat yang sama dengan kesehatan fisik. Orang banyak yang tidak menyadari bahwa physical injuries seperti failure (kegagalan), loneliness (kesendirian) atau rejection (penolakandapat memberikan pengaruh signifikan kepada kehidupan.

Screen Shot 2020-02-17 at 20.40.39.png

Ada beberapa psychological wounds yang dibahas yaitu: rejection (penolakan), loneliness (kesendirian), loss (kehilangan) & trauma, guilt (perasaan. bersalah), rumination (perenungan), failure (kegagalan), dan low self-esteem. Saya belum membaca semuanya. Saya baru membaca sebagian dari yang saya butuhkan yaitu bagian bab failure dan rumination. Rumination itu maksudnya terlalu banyak memikirkan atau merenungi hal-hal negatif. Saya memang senang sekali memikirkan kejadian yang telah lalu dan mengharapkan saya bisa memperbaikinya. Tidak hanya itu, saya selalu merasa itu adalah kesalahan saya yang tidak berusaha dengan baik.

Saya sebenarnya ingin membahas efek samping dan treatment untuk rumination dan failure ini berdasarkan buku tersebut. Namun karena saya rasa pos ini sudah panjang. Nantikan saja di pos selanjutnya hehe (siapa juga XD). Sejauh ini (baru dua hari sih), buku ini membuat pikiran saya lebih terbuka dan berhenti untuk melukai mental diri sendiri. Ambil pelajaran dari kegagalan dan berhenti memikirkan hal-hal yang bisa membuat hati semakin sakit atau semakin sedih. Belum sepenuhnya dipraktekkan, tapi sudah sedikit lebih baik. Semangaaaat!

Coba Lagi dan Coba Lagi

Ini bukan mau menceritakan pengalaman saya menggosok undian berkali-kali dan mendapat tulisan coba lagi terus ya wkwkwk. Itu sih dahulu waktu sering minum minuman kemasan rasa buah-buahan yang bentuknya gelas. Kalau tidak salah namanya Frutang atau Ale-ale, saya lupa yang mana. Saya sering beli karena memang saya suka rasanya, apalagi kalau sudah jadi batu es. Segar sekali deh apalagi diminum saat jalan kaki dengan cuaca Bojonggede yang panas saat pulang sekolah. Ibu warung minuman sudah hafal dengan saya yang kehausan. Di atas minuman tersebut ada semacam kotak abu-abu yang bisa digosok dan jika beruntung ada hadiah uang total ratusan juta. Saya sih lebih sering dapat tulisan “Coba Lagi”. Eh malah jadi beneran diceritain wkwk

Jadi, minggu kemarin saya pergi ke Bandung *lagi* untuk menghadiri pernikahan teman seangkatan kuliah dan sedivisi Pengembangan Sumber Daya A̶l̶a̶m̶ Anggota. Selain itu, saya berniat untuk menerjemahkan transkrip dan ijazah sarjana saya sehingga saya perlu mengambil cuti satu hari di hari Jumat. Saya juga berniat untuk “balas dendam”, saat ke Bandung liburan tahun baru kemarin beberapa rencana saya tidak berjalan karena sakit, sehingga saya ingin lanjutkan di cuti kali ini.

Perjalanan cuti saya dimulai dengan niat menyelesaikan salah satu buku. Buku yang sempat saya baca sedikit awalnya namun saya berhentikan karena saya ada tugas membaca buku lain yang lebih relevan dengan pekerjaan, wkwk. Judul bukunya Educated dari Tara Westover. Saya berharap dengan membaca buku itu saya mendapatkan semangat kembali untuk belajar, wkwk. Dari buku itu, saya belajar banyak kosa kata Bahasa Inggris yang belum pernah saya dengar sebelumnya, yang kalau saya tidak buka kamus, saya tidak mengerti maksud satu kalimatnya sama sekali.

Oh iya, buku ini menceritakan perjalanan penulisnya untuk mendapatkan pendidikan. Dia berasal dari keluarga dengan kepercayaan yang membuatnya tidak dapat bersekolah dan tidak ingin berurusan pemerintah. Tidak punya akta lahir dan tidak pernah ke dokter, walau pernah kecelakaan parah dan sakit yang bikin saya geregetan: “Kenapa ga ke dokter aja sih”.

Hampir setengah buku lebih dia menceritakan masa-masa sebelum dia akhirnya bersekolah secara resmi di universitas. Bagaimana akhirnya dia mengejar ketertinggalan pelajaran, membiayai sekolahnya sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang jauh berbeda, dan akhirnya mau menerima bantuan uang dari pemerintah. Dari yang tidak pernah bersekolah, hingga meraih gelar Doktor di Cambridge. Dari apa yang dia ceritakan, keadaan keluarga dan lingkungan masa kecilnya, saya jadi mengerti apa maksudnya fungsi pendidikan: memanusiakan manusia. Saya juga menyadari saya selama ini banyak mendapatkan priviledge untuk mendapatkan pendidikan namun saya malah tidak memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Saya harus belajar lebih banyak dan lebih cepat lagi.

Wah saya jadi menceritakan buku ya, wkwk. Saat berangkat ke kampus untuk mengurus terjemahan ijazah dan legalisir, saya mampir dulu ke tempat fotokopi, karena salah satu persyaratannya adalah salinan yang akan diterjemahkan dan dilegalisir. Saat membuka map ijazah, saya kaget. Ijazah dan transkrip saya sudah ada terjemahannya! Ketahuan sekali ya saya tidak pernah membukanya XD. Saya memang belum pernah menggunakan ijazah saya, karena kebetulan tempat kerja saya tidak memintanya, karena saya bekerja dari sebelum saya wisuda. Saya hanya mendengar dari teman-teman saya, kalau mereka membutuhkan terjemahan untuk transkrip dan ijazah. Saya lupa kalau saya lulusnya lebih terlambat dari teman-teman seangkatan saya. Saat tahun saya lulus, transkrip dan ijazah sudah ada dalam dua versi bahasa. Akhirnya saya mengurus legalisir saja. Alhamdulillah.

Saat sampai kampus, saya kaget lagi. Ternyata loket tata usaha sudah tidak digunakan lagi dan berpindah ke front office fakultas yang ternyata ada di belakangnya. Saya awalnya kebingungan, di mana letak kantor depan tersebut karena gedung fakultas ada dua, Labtek 5 dan Labtek 8. Akhirnya saya menemukan petunjuk arah ke sana, dan ruangannya ternyata bagus sekali.

camphoto_1144747756
Front Office STEI tampak depan.
camphoto_1254324197
Ruang tunggu antrian
camphoto_1932422408
Mesin cetak tiket antrian

camphoto_684387517

camphoto_1804928587

 

Saya awalnya langsung menyelonong duduk saja di depan Mba Fuji (petugas front office yang ada di foto), lalu saya diminta mengambil nomor antrian terlebih dahulu. Karena tidak ada lagi nomor antrian sebelum saya, saya langsung dilayani. Prosesnya sangat cepat. Semuanya sudah didigitalisasi. Tidak perlu mengisi formulir seperti dahulu. Saya penasaran apakah masih mengumpulkan tugas akhir melalui tata usaha, dan ternyata masih. Mahasiswa masih mengumpulkan tugas akhir ke front office dan mengambil antrian untuk mengumpulkannya, wkwkwk. Saya hanya menghabiskan sekitar 10 menit untuk mengurus legalisasi ijazah, dan baru bisa diambil 3 hari kerja kemudian. Kalau penasaran alur dan biayanya bisa dilihat di link ini.

Selain mengurus ijazah, saya juga mencoba donor darah di PMI Bandung. Ternyata PMI Bandung lebih canggih dibanding PMI pusat Jakarta. Formulir sudah didigitalisasi dan lebih cepat dan mudah. Saya juga bisa melihat foto saya di monitor antrian wkwk.  Kalau mengikuti pos saya sebelumnya, pasti tahu kalau ini minggu ketiga saya mencoba donor darah wkwkwk. Setelah sebelumnya saya ditolak terus karena Hb rendah (10 di minggu pertama dan 11,4 di minggu kedua), di kali ketiga ini saya juga ditolak wkwkwk. Alasannya karena kadar hemoglobin saya masih belum memenuhi, yaitu 12,3 dari persyaratan 12,5. Sedikit lagiiiiii, padahal saya sudah yakin saya bisa memenuhi karena saya sudah mengatur makanan saya lebih cukup dan lebih sehat dibanding sebelumnya. ya sudahlah mari coba lagi minggu depannya di Jakarta.

Akhirnya saya mencobanya lagi. Jumat kemarin saya dan teman saya ke PMI pusat di Senen. Dan hasilnyaaaaa: Gagal lagi saudara saudara, wkwkwk. Kadar hemoglobin saya turun lagi ke 11,5. Teman saya lebih rendah lagi. Padahal kami sudah masak makanan sehat sendiri, wkwk. Sepertinya kami perlu menghadirkan menu daging dalam menu masakan kami, wkwk. Karena kami sudah sedikit putus asa, kami akhirnya memutuskan untuk meminum vitamin zat besi, Sangobion. Semoga minggu depan kami bisa lolos ya! aamiin

 

P.S :

Saya sebelumnya penasaran mengapa kalau di form selalu ada tulisan penghargaan donor yang pernah didapatkan yang ditandai dengan jumlah berapa kali donor. Memang kalau sudah 100 kali dapat apa gitu. Saya baru sadar kalau di pojokan PMI pusat ada pohon yang daunnya bertuliskan nama pendonor yang sudah mendonorkan darahnya 100x. Seperti ini :

IMG_5891 2

Kalau saya hitung-hitung, interval setiap pendonoran kurang lebih 3 bulan (belum dihitung kalau ditolak terus seperti saya ini, wkwk) yang berarti dalam setahun maksimal  4 kali. Untuk mencapai 100 kali donor berarti perlu kurang lebih 25 tahun. Waah lama sekali ya, perlu konsistensi dan persistensi dalam menjaga kesehatan.