Bangunkan Aku Saat September Berakhir

Oh iya belum berakhir. Besok deh nulis lagi.

Death

Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya kematian akan datang, bahkan untuk yang mencoba untuk memaksakannya untuk datang. Tidak pasti orang yang lebih tua yang akan mengalaminya terlebih dahulu atau orang yang sedang sakit keras belum tentu akan mendapatkan kematiannya duluan. Anak-anak muda yang terlihat sehat bisa saja sudah tiada. Caranya bisa dengan berbagai macam, bisa dengan kecelakaan, bencana, serangan jantung atau salah meminum obat.

Saat umur sekolah, saya sangat takut akan kematian yang datang tiba-tiba karena ada keluarga dan beberapa teman yang dipanggil terlebih dahulu secara mendadak. Semuanya masih muda dan umurnya tidak terlalu jauh dari saya saat itu. Saya dulu memiliki tetangga yang mengidap kanker mata. Umurnya lebih muda dari saya saat itu, sekitar 4-5 tahun mungkin, saya tidak tahu tepatnya. Saya kaget saat rumah saya diketuk di malam hari, tetangga saya yang lain mengabarkan kabar duka bahwa tetangga saya itu meninggal dunia. Dan ternyata, bukan karena sakit kankernya itu yang menyebabkan kematiannya melainkan karena tersedak saat minum obat.

Saya juga memiliki tetangga yang umurnya lebih tua dari saya dua tahun. Teman saya main bareng saat masih kecil. Almarhumah baik sekali dan tidak sombong walau kaya raya, dia selalu mengajak saya main ke rumahnya dan memainkan mainannya yang bagus. Saya menganggapnya sebagai kakak saya, karena saya tidak punya kakak. Tibalah suatu saat, masa-masa saya harus mendaftar sekolah ke SMP. Saya masih ingat dia menelepon pada sore hari memberikan saya saran untuk mendaftar sekolah ke SMP yang sama dengan dia. Dia masih terdengar sehar, saya tidak menyangka malam harinya tetangga saya mengetuk rumah lagi mengabarkan kabar duka. Teman saya itu meninggal dunia karena kejang yang diakibatkan salah minum obat: beliau minum panadol dan obat batuk sekaligus.

Selain tetangga saya yang saya sudah anggap kakak tersebut, saya juga memiliki teman lain yang dekat sejak saya masih kecil. Dia seumuran dengan saya, lebih tua beberapa bulan saja. Rumahnya di belakang rumah saya, satu RT dengan saya. Teman bersepeda kapanpun, yang pernah saya ceritakan di tulisan lama kalau saya berjualan juga dengannya. Saya dengannya memiliki beberapa kesamaan. Ayah saya dan ayahnya sama sama berasal dari pulau Sumatera. Rumah neneknya dekat dengan rumah nenek saya di Bandung. Kami pernah berencana untuk bersekolah atau berkuliah di Bandung. Sayangnya saat awal SMA, saya mendapatkan kabar duka lainnya. Saya masih ingat guru mengaji kami berdua berlari menuju rumah saya dan berteriak memanggil saya di pagar. Dia meninggal dunia karena penyakit maagnya, terlalu terlambat untuk dibawa ke rumah sakit. Selain teman saya tersebut, beberapa bulan sebelumnya ada tetangga yang meninggal dunia karena maag kronis juga.

Kematian lainnya yang mendadak yang pernah saya lihat adalah saat SMA, saya sedang menunggu kereta di peron di stasiun. Saya sedang menunggu kereta dan tiba-tiba kereta datang. Saya melihat ke arah rel dan tiba-tiba ada ibu hamil bersama lelaki yang sedang menyebrang. Lelaki tersebut beruntung bisa selamat karena dia bisa berjalan dengan mudah. Sayangnya, ibu hamil tersebut terserempet dan terlempar ke dinding stasiun, meninggal dunia saat itu juga. Saya saat itu terdiam. Saya melihat kematian mendadak di depan saya.

Dari kejadian-kejadian tersebut, saya merasakan kematian bisa datang kapanpun, di manapun, dan pada siapapun. Tidak membuat saya lebih berani, tapi lebih menghargai kehidupan. Saya berpikir bahwa saya masih diizinkan hidup hingga hari ini pasti ada alasannya. Setiap saya merasa down dan sangat sedih, saya tidak ingin mengakhiri kehidupan saya oleh saya sendiri. Bukan hanya karena hal tersebut dibenci oleh Allah SWT, saya juga merasa bahwa saya sangat beruntung masih diberi kesempatan hidup untuk meraih cita-cita saya dan kesempatan untuk mencari pahala lebih banyak. Sesuatu yang diinginkan oleh teman-teman saya yang telah pergi tersebut, dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya. Setiap saya bertemu dengan keluarga mereka (terutama ibunya), saya selalu mengingatkan dia kepada anaknya. Mungkin kalau masih hidup, dia akan sebesar ini juga, melakukan hal ini, dll. Tidak terbayang betapa kecewanya mereka (apalagi keluarga saya tentunya) kalau saya malah tidak ingin hidup. Saat saya merasa tidak memiliki tujuan untuk tetap hidup, saya selalu mengingat hal ini. Stay Alive.

178 Hari

Sudah hampir 6 bulan berlalu semenjak kantor memutuskan untuk bekerja dari rumah (WFH). Saat itu Jakarta belum menerapkan PSBB sama sekali dan hingga PSBB transisi ke new normal pun masih diberlakukan bekerja dari rumah. Saat PSBB diperlonggar, kantor mengizinkan untuk bekerja di kantor dengan minta izin terlebih dahulu dan tentu jika masih melebihi kapasitas maksimal yang diperbolehkan. Saya menggunakan kesempatan itu sekitar tiga kali karena ada keperluan dan saya sangat senang bisa bertemu beberapa kolega walaupun tetap tidak bisa pair programming.

Pada awal WFH saya tidak menyangka akan berlangsung selama ini, bahkan hingga PSBB ketat diberlakukan kembali. Enam bulan ini terasa lama sekali. Sudah banyak hal yang terlewati. Seperti yang pernah saya ceritakan di pos sebelumnya, saya sempat demam tinggi beberapa hari karena tipes. Saya merasa kejadian itu sudah lama sekali, padahal terjadi pada tahun ini juga, di bulan Maret.

Awalnya saya hanya mengenal dua teman di kosan yang juga teman kantor. Kini saya sudah mengenali hampir semua penghuni kosan. Beberapa menjadi kenal karena hubungan bisnis, alias partner patungan wifi agar harganya lebih terjangkau. Beberapa menjadi lebih dekat karena menjadi partner ke pasar dan masak bersama. Ada juga yang kenal berawal karena meminjam pompa sepeda. Dari perkenalan-perkenalan itu, jadilah sebuah grup kosan di suatu platform media sosial. Sekarang kalau ada kelebihan makanan atau ingin beli makanan/minuman bersama agar lebih murah jadi lebih mudah. Jika ada butuh sesuatu di kosan tinggal tanya di grup.

Setelah dua tahun di kosan, baru saat WFH ini saya menggunakan rooftop kosan (gaya bener). Kosan saya cukup tinggi jika dibandingkan dengan rumah-rumah di sebelahnya sehingga bisa melihat cukup jauh, tapi tidak sampai melihat monas juga sih. Lumayan untuk hiburan di kosan saja. Kami pun bisa memesan makanan dari atas alias memakai katrol untuk mengangkut makanan dari bawah, haha. Trik yang digunakan oleh Mba Kosan untuk mengambil paket dari bawah.

Pada saat awal PSBB diadakan, saya cukup khawatir dengan persediaan makanan sehingga saya menyetok cukup banyak makanan (mayoritas makanan instan). Gang kosan pun diportal dan dijaga oleh satpam. Pengantar gofood pun tidak boleh masuk sehingga harus di jemput di depan gang, sehingga saya pikir saya harus menyetok makanan karena takut tidak bisa membeli makanan. Mungkin karena pertama kali menghapi situasi seperti ini sehingga saya menjadi panic buying. Stok makanan tersebut bahkan masih ada hingga saya menjalani operasi pada bulan lalu. Kalau sekarang sih sudah merasa cukup tenang, asalkan sudah menyimpan beras dan telur saja. Kalau tukang sayur lewat, beli ayam seekor, dibumbu kuning saja dan simpan di kulkas, bisa buat seminggu. Sayur sih yang saya agak susah, karena tidak bisa disimpan lama. Mungkin harus ikutan mba kosan menanam sayur di atas.

Saya penasaran apakah tanggal 14 nanti bersepeda masih dibolehkan. Seingat saya sih jalan sepeda baru dibuka saat PSBB transisi. Kalau tidak diperbolehkan berarti saya harus mencari cabang olahraga lain, wkwk. Saya butuh berolahraga karena anjuran dokter dan juga agar timbangan tetap stabil. Setelah operasi, Alhamdulillah nafsu makan meningkat drastis jadi saya makan banyak sekali. Kalau tidak berolahraga pasti sudah kembali ke angka timbangan tahun lalu, wkwkwk.

Dilihat dari perkembangan kasus Corona di Indonesia khususnya di Jakarta sampai hari ini memang sebaiknya tidak kemana-mana dulu. Saatnya melanjutkan misi produktif yang tidak tercapai juga saat 178 hari kemarin. Saya pikir masih sehat jasmani dan mental hingga hari ini saya sudah bersyukur, hehe. Semoga selanjutnya tetap diberi kesehatan, kelancaran dalam urusan, dan kecukupan rezeki, aamiin.

Diesel

Pada saat sesi 1on1 di awal masuk iOS team, saya masih ingat Pak Kabag memberitahu pendapat istrinya mengenai saya saat bekerja dengan saya: saya seperti mesin diesel. Saya kurang mendalami dunia permesinan sehingga saya tidak langsung paham maksud dari beliau. Pak kabag kemudian menjelaskan kepada saya bahwa mesin diesel membutuhkan lama untuk panas, yang jika diterjemahkan pada kasus saya berarti saya membutuhkan waktu lebih lama untuk benar-benar terbiasa untuk mengerjakan sesuatu. Butuh waktu lebih lama untuk bergerak cepat.

Istri Pak Kabag adalah partner pair programming pertama saat saya pertama kali masuk sebagai Test Engineer di kantor yang sekarang. Walaupun ini bukan pekerjaan pertama saya, namun saya tetap nervous saat pertama kali masuk karena ini kali pertama saya bekerja pairing. Istri Pak Kabag memperhatikan kinerja saya di bulan pertama saya yang sepertinya membuat dia geregetan. Saya baru bisa mengerahkan kemampuan yang saya punya setelah beberapa waktu kemudian.

Kalau diingat-ingat lagi, saya memang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Saat masa-masa sekolah dahulu, di semester pertama dan di tingkat pertama, saya mendapatkan peringkat yang tidak sebaik semester-semester setelahnya. Saat SD, saya tidak mendapatkan peringkat 3 besar di tahun pertama, namun konsisten di peringkat dua besar di semester-semester berikutnya. Saat semester awal di SMP lebih unik lagi, saya mendapatkan peringkat 8 di semester pertama. Saya lupa orang tua saya kecewa atau tidak, tetapi yang saya ingat orang tua saya bilang persaingan di SMP lebih ketat dibanding di SD dulu. Saya juga tidak merasa nilai saya jelek, jadi mungkin itu hasil yang terbaik. Saya tidak menyangka saya bisa mendapatkan peringkat 2 pada semester berikutnya dan bisa lebih baik di semester-semester berikutnya.

Saat masuk SMA, saya tidak terlalu berharap mendapatkan peringkat tinggi karena saya masuk sekolah terfavorit di kota saya. Saat semester pertama saya mendapatkan peringkat ke-13, wkwk. Pada semester berikutnya Alhamdulillah mendapatkan peringkat 3 besar, saya lupa peringkat ke-2 atau ke-3, yang pasti bukan peringkat pertama. Setelahnya, saya tidak pernah di bawah 3 besar lagi. Sombong sekali ya, tapi peringkat di masa sekolah belum tentu menjamin kesuksesan di masa depan. Banyak teman-teman saya yang lebih pandai dari saya namun peringkatnya lebih rendah karena nilainya tidak merata di semua pelajaran (namun sangat menonjol di pelajaran-pelajaran tertentu). Saya tidak ada nilai yang terlalu menonjol. Saya bahkan dibilang tidak cocok untuk tidak masuk teknik karena nilai fisika saya biasa saja.

Saat kuliah tidak ada peringkat-peringkat lagi. Namun kalau dari trending IP sih memang parah sekali di semester pertama di jurusan, XD.